Kentut
Rusdi Mathari Salah satu diskusi kami paling hangat setiap kali bulan puasa adalah soal batal-tidaknya puasa bila kami berkentut dalam air. Kami masih anak-anak dan topik berkentut dalam air adalah pembicaraan yang tidak pernah selesai kami bahas. Ka...

Rusdi Mathari
Salah satu diskusi kami paling hangat setiap kali bulan puasa adalah soal batal-tidaknya puasa bila kami berkentut dalam air. Kami masih anak-anak dan topik berkentut dalam air adalah pembicaraan yang tidak pernah selesai kami bahas. Kadang disertai keributan khas anak-anak setiap kali kami mandi di kali yang terletak di belakang langgar Ji Ripai.
Hampir setiap hari terutama di musim kering, beberapa jam selepas waktu zuhur hingga waktu asar tiba, kami “beratraksi” di kali: berenang, kuat-kuatan menyelam, bersalto dan sebagainya. Semua itu, pada pokoknya hanya sebuah “usaha” agar kami tak kepanasan karena menjalankan puasa. Entah pula di antara kami, ada yang menelan air kali yang pada masa itu airnya masih tampak jernih.
Pembahasan soal berkentut dalam air itu muncul di antara kami karena sebelum puasa, guru ngaji kami menyebut hal-hal yang bisa membatalkan puasa setiap kali menjelang Ramadan. Selain makan dan minum yang dimasukkan lewat mulut, guru kami mengajarkan bahwa yang membatalkan puasa adalah juga masuknya sesuatu lewat lubang-lubang lain yang ada di tubuh manusia. Antara lain lewat lewat lubang anus.
Bagaimana bisa sesuatu masuk lewat dubur?
Kata guru ngaji kami bisa, apabila kita berendam di air lalu berkentut. Sebuah pelajaran “fikih” yang sebetulnya tidak begitu kami pahami, dan gara-gara itu kami sering meributkannya setiap mandi di kali.
Pada suatu siang, sewaktu kami sedang asik melompat dan berenang , salah seorang dari kami berteriak karena melihat gelembung air yang muncul di belakang seorang kawan yang tengah berendam. Gelembungnya cukup banyak.
“Batal batal…. Kamu kentut…”
“Aku ndak kentut kok.”
“Aku melihat gelembung keluar dari belakangmu. Kamu pasti kentut.”
“Tapi aku tidak kentut…”
“Kamu kentut…”
“Aku tidak kentut…”
Mereka saling tarik urat leher dan hampir berhantam. Kawan yang dituduh kentut sewot, kawan yang menuduh batal puasa ngotot.
Besoknya dan besoknya lagi dan seterusnya, soal berkentut dalam air itu akan kembali muncul, bila salah seorang melihat gelembung air yang muncul di belakang tubuh salah seorang di antara kami yang berendam. Mereka akan kembali saling ngotot, hampir berkelahi, dan sesudahnya selesai begitu saja.
Pada suatu sore, Pak Madun juga mandi di kali. Dia memang selalu mandi di kali setiap waktu asar tiba atau sesudahnya. Pada masa itu di tahun-tahun 70-an, rumahnya yang terletak di sebelah selatan langgar Ji Ripai dan hanya berjarak beberapa meter dari pinggir kali, belum punya kamar mandi. Dia biasanya akan meletakkan sarungnya di tepi kali, berendam sebentar lalu membersihkan tubuhnya. Permukaan kali yang bagi kami bisa membenamkan kepala, bagi Pak Madun yang orang dewasa hanya mencapai sebatas dadanya.
Dan sore itu, ketika baru beberapa saat Pak Madun masuk ke kali, dua teman kembali meributkan soal berkentut dalam air. Suara mereka keras sehingga Pak Madun berusaha melerai.
“Sudah sudah, kalian pulanglah.”
“Dia ketut Pak Madun.”
“Bohong Pak Madun. Saya tidak kentut.”
“Sudah, sudah…Ini hampir waktu buka.”
“Berkentut dalam air kan membatalkan puasa ya Pak Madun?”
“Iya, iya…Bisa batal…”
“Tuh kan batal…”
“Tapi saya tidak kentut Pak Madun…”
Pak Madun belum lagi menjawab ketika kami semua dikejutkan oleh suara dari belakang Pak Madun. “Blup…blup….”
Terlihat di sana gelembung-gelembung yang cukup besar muncul ke permukaan air, persis di atas pinggang Pak Madun. Suaranya cukup keras.
“Pak Madun kentut ya?” seorang dari kami memberanikan bertanya, tapi orang yang ditanya hanya diam. Wajahnya terlihat serba-salah.
Sesaat tidak ada suara, tapi sesudahnya kami semua tertawa.
Wajah Pak Madun tetap seperti orang bingung. Tawa kami semakin kencang dan sejak itu kami berhenti berdebat soal batal-tidaknya kentut dalam air. Setidaknya pada Ramadan kali itu setelah Pak Madun juga berkentut dalam air.