Ken Arok dan Joko Widodo
Asarpin* Kita mungkin perlu menyimak kisah Ken Arok lagi. Ada teladan yang tak lapuk oleh zaman, yang membuat kita bisa lebih arif dalam menyikapi tabiat kekuasaan yang akhir-akhir ini menyita perhatian kembali. Tapi mengapa legenda J...

mungkin perlu menyimak kisah Ken Arok lagi.
Ada teladan yang tak lapuk oleh zaman, yang membuat kita bisa lebih arif dalam menyikapi tabiat
kekuasaan yang akhir-akhir ini menyita perhatian kembali. Tapi mengapa legenda
Jawa yang kita simak, bukan cerita dari Sumatera atau Lampung?
kalau ada yang masih gemar mengaitkan cerita dengan kebangsaan warisan
nasionalisme tua-bangka itu, saya katakan: tiap-tiap legenda tidak hanya untuk
satu umat manusia, dan setiap tambo atau mitologi tak bisa diringkus dalam
batas suku-bangsa, apalagi melalui semangat etno-nasionalisme yang sudah kadaluwarsa.
Yamin pernah menulis Arok-Dedes tahun 1920-an yang mengagumkan, dan sesudahnya betapa banyak orang bicara
tentang legenda ini. Pramoedya orang
Jawa tapi ia tak memperlakukan teks lama itu hanya kepunyaan orang Jawa dan
karena itu betapa menggugah kisahnya dalam Arok-Dedes
yang tebal itu. Pram menulis novel itu
dengan kesadaran penuh sebagai narasi perlawanan terhadap fasisme Orde Baru.
cerita mengenai Arok-Dedes memiliki variasi yang kaya, dan tak jarang satu sama
lain saling berbeda tafsir, bergantung “jatuh” ke tangan siapa kisah itu
akhirnya. Baru-baru ini Goenawan
Mohamad menerbitkan buku Catatan Pinggir
10 yang salah satu kolomnya menyinggung kisah itu lagi, dengan gaya, ciri dan
kecenderungan Goenawan yang “anti-heroik”.
sebagai penjudi, perusuh, pemerkosa. Suatu kali si pemuda itu tidur, tepat pada
saat itu dari ubun-ubunnya keluar beratus-ratus kelelawar, hitam, tanpa
henti.
itu sangat berlawanan dengan “realisme” Arok-Dedes dalam fantasinya Pramoedya. Pada
teks Goenawan muncul sesuatu yang magis, bahkan surealis: dari ubun-ubun Ken
Arok menyembul beratus-ratus kelelawar. Di sana pula mencuat sesuatu yang
tragik, seperti Macbeth dalam lakon
Shakesprere, dan bukan kisah kepahlawanan
yang gagah.
memperhadapkan yang tragik dan heroik. Bukan tragedi dan komedi. Mengapa? Karena kita hidup dalam negara
kesatuan yang dipimpin Joko Widodo,
bukan di masa Abdurrahman Wahid yang kocak. Joko Widodo lebih menunjukkan sifat yang
tragik, bukan sang hero seperti Bung
Karno.
Widodo, sang presiden kita, seperti makhluk
yang baru keluar dari cermin sebelum kita sempat berkaca. Dalam penampilan dan kebijakannya tersimpan
“tuah” dan “tulah” sekaligus. Disebut
“tuah” karena, dengan gaya yang diharapkan memilki wibawa, ia mampu melakukan yang hampir mustahil.
tanpa menyadari kelemahan yang dimilikinya, karena ia—sebagaimana
para pembaca legenda Arok-Dedes yang syarat kepentingan—hanyalah sebuah proyek
kekuasaan. Di belakangnya antri para
petinggi yang ikut mencicipi proyek tersebut.