Hot Quote: Mengapa Tedjo Edhy Memuakkan?
AE Priyono “Mengapa Tedjo Edhy memuakkan? Mengapa Menko Polkam yang melontarkan pernyataan kontroversial bahwa dukungan massa kepada KPK adalah kekanak-kanakan, mendatangkan kemarahan publik? Banyak argumen menyoroti kemuakan dan kemar...

AE Priyono |
“Mengapa Tedjo Edhy memuakkan? Mengapa Menko Polkam yang melontarkan pernyataan kontroversial bahwa dukungan massa kepada KPK adalah kekanak-kanakan, mendatangkan kemarahan publik?
Banyak argumen menyoroti kemuakan dan kemarahan publik itu tertuju pada mulut-busuk dan kotor Tedjo. Ini adalah sejenis argumentasi moral untuk merespons sebuah pernyataan politik yang tolol dari seorang pejabat yang suka bikin bising. Memang argumen jenis ini cukup sah dan efektif untuk menyalurkan katarsis kejengkelan publik yang sudah sangat sebal pada praktek degil politik elitis.
Tetapi pernyataan tak-sensitif Tedjo itu tampaknya tidak bisa direduksi sekadar akibat kebodohan dan ketololan — seradikal apapun kedunguannya. Sebagai pion-kecil untuk menjalankan kepentingan-kepentingan besar kekuatan oligarkis yang hendak dilayaninya, karir politik Tedjo adalah karir yang dirintis dari lorong-rolong gelap kolusi kekuasaan. Para penempuh karir politik jenis seperti ini sepenuhnya mengandalkan jejaring-jejaring elitis sebagai tangga untuk mendapatkan posisi-aman di zona-nyaman puncak-kekuasaan. Orang-orang jenis ini pula yang senantiasa memandang massa, publik, rakyat, dengan tatapan curiga dan dalam tingkat kedengkian maksimal.
Sementara Jokowi makin terseret tak berdaya dalam pusaran kepentingan elitis yang terus bertarung sesama sendiri, si Tedjo terus bergerak membersihkan arena pertarungan dari intervensi arus bawah. Inilah tugas Tedjo yang sesungguhnya, sebuah tugas yang memang memerlukan kenekadan absolut.
Tetapi kengawuran Tedjo telah menciptakan apa yang disebut seorang filosof kiri dari Slovenia, Slavoj Zizek, sebagai “jurang-ontologis.” Jokowi makin dijauhkan dari massa pendukungnya karena jurang menganga yang diciptakan Menkonya. Jurang itulah yang juga akan dipakai untuk menguburkan kematian politik sang Presiden.” (AE Priiyono, Direktur Riset pada Public Virtue Institute: Minggu, 25 Januari 2015).