Tanjungluwung
Asarpin* Alkisah, di sebuah tanjung yang tenang hidup seorang bernama Syekh Muso. Setiap selesai menjalankan sembayang lima waktu, Syekh Muso selalu menyempatkan diri menanam bakau di Tanjungluwung, tempat sekumpulan bangau bertengger dan berku...

di sebuah tanjung yang tenang hidup seorang bernama Syekh Muso. Setiap selesai
menjalankan sembayang lima waktu, Syekh Muso selalu menyempatkan diri menanam
bakau di Tanjungluwung, tempat sekumpulan bangau bertengger dan berkumpul.
memang rajin ke masjid, tapi
ia menagku bukan
pewarta agama, dia tak pernah jadi guru. Pekerjaannya menanam bakau dan tak pernah membunuh bangau. Bakau
yang ditanamnya di Tanjungluwung itu telah mencapai 6.666 batang dan bangau yang beranak pinak
itu kini berjumlah 3.333 ekor. Kampung itu penuh cericit bangau dan ketipung
para kepiting dan ikan-ikan melompat-lompat ke udara kemudian terjun ke laut
kembali.
Muso dipercaya dapat
menyibak air laut dengan tongkat, berjalan di dasar laut dan melihat
dinding-dinding laut yang terbelah sebagai kolam raksasa. Bahkan Syekh Muso
pernah ditelan kerbau laut dan ia tak mati meskipun telah berada di perut hewan
itu sehari-semalam. Sejak itu orang percaya kalau dia Wali Kesebelas, bahkan jelmaan
Nabi Yunus
yang diutus untuk menyelamatkan tanjung.
hari Tanjungluwung akan dibangun resor. Satu-satunya
yang dianggap penghalang oleh Lurah Lading Kuning adalah Syekh Muso, sebab
dia yang menanam ribuan bakau dan menyayangi
bangau melebihi segalanya. Kemudian dimunculkan desas-desus bahwa Syekh Muso
telah sesat. Lalu datanglah kakaknya,
Syekh Bintoro alias Wali Kesepuluh untuk menyelidiki aktivitas adiknya dan dia
melihat ada yang tidak beres pada si adik.
cerita, Syekh Muso akhirnya dipancung. Jasadnya dimakamkan di
Tanjungluwung dan dianggap
keramat oleh warga dan
dijaga oleh seorang perempuan bersisik bernama
Zaenab. Sejak kematian Syekh Muso, Tanjungluwung yang tenang
akhirnya penuh
ketegangan antar-kaum, dan berakhir pembunuhan yang mengerikan sepanjang
oktober 1965. Semua keturunan Syekh Muso sampai ke cucunya mati dengan cara
difitnah, dituduh anggota palu-arit dan mengajarkan ilmu sesat.
bertendens keagamaan di
atas diolah dari novel Surga Sungsang (2014) karya
Triyanto Triwikromo.
Tentu saja saya telah bertindak sewenang-wenang tatkala
memenggal
kisah itu dengan hanya menampilkan kisah Syekh
Muso, padahal terdapat seserpihan kisah di dalam novel itu.
Muso di dusun Tanjungluwung itu mengingatkan pada orang-orang Walhi yang
entah sudah berapa juta batang bakau ditanam di pantai. Ketika ia difitnah dan
disalib, kita pun teringat kisah al-Hallaj yang dieksekusi di tiang gantungan di
Bagdad. Juga Syekh
Siti Jenar di Jawa, Hamzah Fansuri di Aceh, sampai Malang Sumirang dalam Babad Jaka
Tingkir, Ki Babeluk di
masa Kerajaan Pajang di abad ke-16, hingga Syekh Among Raga—seorang santri
keturunan Sunan Giri di masa Mataram di bawah Sultan Agung di abad ke-17.
varian dari itu
semua. Di sana kita bersua dengan kisah faktual yang berbaur dengan yang
fiktif, antara babad (sejarah) dengan yang mitologi membayur dengan intim dalam
membangun keutuhan naratif.