Takut Bayang-bayang

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pada saat saya melakukan kunjungan inkognito (penyamaran)  ke salah satu mahasiswa program doktor nun jauh di tepi bendungan yang diresmikan oleh orang nomor satu di negeri ini beb...

Takut Bayang-bayang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pada saat saya melakukan kunjungan inkognito (penyamaran)  ke salah satu mahasiswa program doktor nun jauh di tepi bendungan yang diresmikan oleh orang nomor satu di negeri ini beberapa waktu lalu, ternyata ada pesan masuk melalui piranti sosial yang menyatakan bahwa ketidaklulusan si pengirim berita dari suatu tes masuk karena ada bayang-bayang yang membayangi.  Berita itu dikabarkan oleh seorang calon pemimpin lembaga bergengsi kepada si pengirim berita, yang tampaknya beliau takut akan bayang-bayang. Entah bayang bayang apa yang ditakutkan tidak dijelaskan.

Saat saya bercengkerama dengan cucu cucu dari anak mahasiswa tadi, mereka takut akan sesuatu di balik pohon. Saat dijelaskan bahwa itu tidak ada dan yang ada hanya bayang-bayang saja, mereka masih saja merasa tidak yakin. Penjelasan rasional tidak ‘mempan’. Sebab, peta kogitif map yang terbangun dalam otaknya mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang perlu ditakuti, meskipun itu hanya berupa bayangan pohon.

Saat kembali ke kampus beberapa hari kemudian; datang seorang rekan mengeluhkan mendapat tekanan, bahkan sudah kategori fitnah. Katanya, siapa pun yang masuk ke ruangan ini akan ada yang melaporkan ke pihak tertentu untuk dijadikan bahan rekomendasi untuk diberi semacam sanksi. Sahabat tadi bertanya, sebenarnya ada bayang bayang apa dan apa yang terjadi. Tentu saja ini pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, karena memang pilihan jawabannya tidak tersedia.

Bayang-bayang ini tidak hanya ada di dunia manusia. Di dunia tumbuhan pun ada konsep tentang bayang-bayang. Ada tumbuhan yang bisa hidup baik jika tanaman tersebut tidak terkena bayang tumbuhan lain. Sebaliknya, ada tanaman yang hidupnya akan bagus jika ada tumbuhan lain yang membayanginya, sehingga sinar matahari tidak langsung terkena pada tumbuhan tadi.

Contoh di atas jika ditelisik akan semakin panjang. Dalam Jurnal online Ideapers kita menemukan nukilan dalam tulisan lama bahwa Plato mengatakan bentuk material bukanlah objek yang utama dalam kehidupan. Menurut Plato, ada faktor lain yang memengaruhi suatu hal bisa terjadi dan terkadang sulit untuk dijelaskan secara nalar. Terutama gagasannya terkait dunia ide, bentuk absolut dari segala bentuk yang ada di alam semesta. Berbeda dengan dunia material yang mudah rusak dan fana, dunia ide milik Plato menawarkan bentuk yang kekal dan abadi. Dunia semata-mata adalah bayang dari dunia ide. Oleh karena itu, hukum kefanaan berlaku atasnya.

Pada sumber yang sama mencontohkan, Plato membayangkan bahwa pengetahuan berbentuk segitiga sama kaki yaitu yang memiliki tiga garis lurus sempurna dan sudutnya yang berjumlah tepat 180 derajat. Namun, sebuah segitiga yang digambar seseorang, meskipun ia menggunakan instrumen teknik yang canggih, masih terdapat kecacatan meskipun kecil. Belum lagi, segitiga yang digambar dalam bentuk materi memiliki kecenderungan untuk rusak, pudar, bahkan musnah.

Tidak hanya itu, Plato juga menerapkan teori ide absolut untuk semua makhluk hidup, termasuk manusia. Plato memandang manusia tidak hanya terdiri dari bentuk fisik yang sering disebut tubuh saja. Ia membagi manusia menjadi tiga unsur yaitu Ephitumia (nafsu-nafsu), Thumos (semangat), dan Logostikon (intelektual).

Menurut Plato, penting untuk menjaga tiga unsur ini tetap seimbang dan harmoni demi mencapai kebahagian jiwa yang ideal. Plato sering dianggap egois karena merendahkan nafsu tubuh dengan selalu mengutamakan pengetahuan dan intelektualitas. Ia mengandaikan nafsu keduniawian sebagai makhluk berkepala banyak yang melahap dirinya sendiri. Plato selalu mengingatkan betapa pentingnya mengendalikan dorongan nafsu dan menjadi lebih bijaksana.

Oleh karena itu, ketiga unsur tadi harus selalu berjalan seimbang dan saling bersinergi. Dalam hal ini, Thumos bisa menjadi jembatan yang baik jika benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan.

Lantas, apakah prinsip manusia ideal yang dicita-citakan Plato masih ditemukan di era modern seperti sekarang?

Era media sosial seperti sekarang ini, bisa menjadi representasi terbaik untuk manusia melakonkan aksi narsisme. Keinginan untuk selalu dipuji dan dipuja seperti dewa. Menjalankan undang-undang konsumtif dalam segala aspek. Mulai dari pembelanjaan pakaian yang berlebih, makanan, properti, serta gaya hidup lainnya yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan, karena semua itu sebenarnya adalah bayang bayang, yang akan hilang jika ada cahaya kematian.

Manusia saat ini, secara tidak sadar masuk dalam perangkap dunia bayang bayang yang penuh bujuk rayu serta kebahagiaan artifisial. Tunduk pada nafsu keduniawian dan menyerahkan secara penuh hidupnya pada hal hal yang bersifat material. Banyak orang yang memaksakan keinginan tersebut dengan menghalalkan segala cara, termasuk memfitnah demi memenuhi eksistensi yang fana.

Kemilau modernitas yang lebih berbetuk konsumerisme barangkali menjadi salah satu ujian Tuhan untuk manusia. Sampai mana kebijaksanaan dan pengetahuan bisa diraih dan diterapkan dengan baik. Seperti yang dikatakan Socrates dalam Dialogue Plato, “Hidup yang tidak teruji, tak layak untuk dijalani”. Dan, manusia kini  menikmati ujian tersebut seakan menjalankan kehidupan dalam taman surga. Mereka lupa sebenarnya kita masih di dunia. Bayang surga pun tampaknya semakin menjauh.

Selamat Hari Raya Idhul Qurban bagi yang merayakannya…