Patahnya Tiang Bendera
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi menjelang siang akhir pekan lalu saat penulis masih disibukkan memberikan materi matrikulasi pada satu program studi pascasarjana bersama seorang sohib, saat menuruni tangga k...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pagi menjelang siang akhir pekan lalu saat penulis masih disibukkan memberikan materi matrikulasi pada satu program studi pascasarjana bersama seorang sohib, saat menuruni tangga kami berbincang ringan menggunakan bahasa ibu. Salah satu bahan candaan kami berdua adalah bagaimana kejadian di kampung beberapa tahun silam di saat menaikkan bendera merah putih. Karena tiang bendera terbuat dari kayu yang terlalu tinggi menjulang, saat ada embusan angin, tiang itu patah. Bendera pun jatuh teronggok di tanah.
Itu penanda yang tidak pernah ditafsir oleh penghuni kampung. Itu adalah penanda atau sasmita karena orang sekampung sudah tidak hirau dengan benderanya. Tidak begitu lama prahara itu betul adanya, namun ini tidak ada kaitannya dengan tiang bendera. Prahara itu adalah jatuh berkepingnya marwah lembaga yang selama ini dijaga bersama, dirawat bersama. Bagai petir disiang bolong, tersiar berita melalui media sosial genggam bahwa pimpinan tertinggi sebuah lembaga tertangkap tangan oleh lembaga anti rasuah; karena bermain cuan saat penerimaan warga baru.
Pada kesempatan senja di lain peristiwa, karena kebutuhan kelanjutan generasi, penulis memanggil orang-orang muda yang berjaya pada masa ini. Diskusi diawali dengan rasa keprihatinan yang mendalam atas musibah yang menimpa personal, kaitannya dengan kelembagaan. Pembicaraan bukan pada sisi musibahnya, tetapi pada hikmah apa yang dapat diambil dari musibah tadi. Tampaknya pada posisi ini pendekatan filsafat dikedepankan.
Diskusi sekitar larangan sosial, kepatutan sosial, sampai pada keharusan sosial yang selama ini banyak dijungkirbalikkan atas nama kekuasaan menjadi mengemuka. Terpusatnya kekuasaan, antikritik, tidak mau mendengar kata orang lain, menidakkan proses, sampai kepada melawan guru; menjadi serangkaian pembicaraan yang tidak pernah bertitik.
Kesepakatan yang harus segera diambil adalah: peristiwa sudah terjadi, ratapan harus sudah berhenti. Kepingan kehancuran harus segera dirajut kembali untuk menata diri menyongsong masa depan yang lebih baik lagi. Kesalahan baru tidak harus terjadi, amputasi generasi harus tega dilakukan, walaupub itu teman sendiri. Hal itu jika yang bersangkutan membawa “virus sosial” perusak masa depan, segera kita parkirkan dengan tidak mendudukkannya pada posisi strategis pengambil kebijakkan. Ibarat kapal di samudera: kapten kapal, nakhoda, juru mudi, juru mesin, sampai kepala logistik harus ditata ulang. Mereka yang ikut barisan pengambil keputusan saat kapal kandas harus diturunkan di pelabuhan guna dikarantina terlebih dahulu. Kapal harus dibersihkan dari “tikus-tikus” dek dengan disinfektan; agar tidak bersarang lagi membuat kerajaan baru pada kapal.
Kapal induk sudah ada yang mengurus, yaitu pejabat kementerian; sementara kapal besar yang nahodanya tidak jadi dilantik, juga harus diurus dengan baik dan benar. Selama ini banyak penghuni tetapi tidak ada penghuni, manakala dihadapkan kepada siapa yang akan dipersiapkan menjadi nahoda kedepan. Kebanyakan yang ada hanya pecundang, saat enak mereka bersorak, saat musibah mereka tiarap.
Untuk periodesasi “penyembuhan luka” saat ini diserahkan kepada para guru besar muda, namun untuk kedepan agar tidak lagi ada generasi yang terkontaminasi perilaku hedonis; ternyata jarang sekali yang memikirkan hal ini. Kebanyakan sekarang terjebak kepada kelompok kelompok; Kelompok pertama, kelompok eforia atau kelompok kegirangan berlebihan karena merasa “tiang bendera” sudah patah, sehingga dapat bernafas lega, karena hutang sosial terbayar lunas.
Perilaku kelompok kedua adalah kelompok “bunglon”. Kelompok ini semula pendukung militant pimpinan terpilih, begitu peristiwa pembabatan terjadi, kelompok ini tiarap mencari selamat. Bahkan kalaulah harus menjadi pecundang pun mereka lakukan, demi penyelamatan periuk nasi. Kelompok ketiga, kelompok “anut grubyuk”; kelompok ini hanya ikut menang saja. Siapapun pemimpinan terserah saja, yang penting akhir bulan dapat gaji, pembagian remunerasi dapat banyak; selebihnya terserah anda.
Situasi seperti ini memang sulit untuk menyiapkan “Kapten Kapal” masa depan yang andal.Satu satunya cara menyemai ideologi konstruktif kepada mereka yang saat ini sudah mulai menampakkan tanda tanda diri sebagai pemimpin masa depan. Jumlah mereka tidak banyak, namun dengan upaya yang sistematis, metodologis, serta keteladanan yang humanis akademis; diharapkan akan muncul generasi masa depan yang lebih baik.
Mungkin ini maksud Tuhan memberikan musibah; agar kita menyusun ulang masa depan agar menjadi lebih baik lagi. Kondisi saat ini tidak perlu lagi saling menyalahkan, atau bersembunyi dibalik tirai. Harus duduk bersama menjadikan masa lalu sebagai referensi untuk mengambil hikma dari yang baik; sementara yang terlanjur salah, dijadikan bahan kajian agar tidak terulang.
Antara musibah dan berkah itu ibarat dua sisi telapak tangan, mana kala musibah yang datang, sebenarnya ada berkah yang disembunyikan; manakala ada berkah yang diperoleh, sebenarnya itu kataganti dari musibah yang harus diwaspadai. Benar kata R.Ng. Ranggawarsita, pujangga Tanah Jawa, yang mengatakan bahwa eling lan waspada kuwi margining kamulyan (siapa yang selalu ingat dan waspada itu adalah jalan menuju kemulyaan). Pada halaman lain beliau juga menulis: Sapa sing nembe bisa ngasorake liyan kuwi durung satria, sapa sing bisa ngasorake awake dewe kuwi satria sejati (Siapa yang baru bisa mengalahkan orang lain itu belum satria, siapa yang bisa mengalahkan dirinya sendiri itulah satria sejati).
Selamat ngopi pahit!