Orang Miskin (Memang) Dilarang Sakit

Oyos Saroso HN Rumah Sakit Abdoel Moeloek (RSUAM) Bandarlampung mengusir pasien miskin. Itulah berita heboh yang menghiasi halaman media lokal sejak Minggu petang (4/1/2015) hingga tiga hari kemudian. Berita menjadi dramatis karena pasien perempuan b...

Orang Miskin (Memang) Dilarang Sakit

Oyos Saroso HN

Rumah Sakit Abdoel Moeloek (RSUAM) Bandarlampung mengusir pasien miskin. Itulah berita heboh yang menghiasi halaman media lokal sejak Minggu petang (4/1/2015) hingga tiga hari kemudian. Berita menjadi dramatis karena pasien perempuan bernama Winda Sari itu dibawa pulang suaminya dengan sebuab gerobak cikar yang biasa dipakai untuk mengangkut barang bekas. Menjadi heboh lagi karena pasien dikabarkan tidak memiliki rumah, miskin, tidak punya rumah, tidak punya kartu kesehatan.

Pihak rumah sakit (terutama direktur dan para pejabatnya) gelalapan. DPRD Lampung memangil Direktur Rumah Sakit RSUAM, Lalu, terjadilah acara dengar pendapat di Gedung Dewan pada Selasa (6/1/2015). Direktur dicecar beberapa pertanyaan. Lalu, Direktur RSUAM memberikan klarifikasi. Acara dengar pendapat kemudian selesai dengan sekerat janji. Pihak RSUAM berjanji akan memperbaiki semua hal buruk di rumah sakit milik Provinsi Lampung.

Selesai? Belum. Esok paginya, Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri menyambangi RSUAM untuk silaturahmi.Sembari silaturahi, Bachtiar Basri menyerahkan lima unit mobil kepada RSUAM untuk mendukung operasional. Maksudnya,tentu, agar pelayanan lebih baik lagi.

Pihak rumah sakit (terutama para tenaga medis atau perawat) menolak pasien seolah menjadi hal lumrah di Indonesia. Kisah pilu tidak hanya dialami Winda. Biasanya, orang miskin-apalagi tidak membawa kartu jaminan kesehatan-tidak akan dilayani dengan sigap seperti halnya petugas rumah sakit melayani pasien keluarga kaya. Bahkan, ketika sudah berada di dalam ruang perawatan pun kerap terjadi pasien yang tampak dari keluarga kaya akan dilayani lebih baik dibanding dengan pasien miskin. Padahal, ini pernah terjadi pada ‘era kartu Jamkesmas’, pasien kaya itu berobat di rumah sakit juga memakai kartu kesehatan yang seharusnya menjadi hak orang miskin.

Saya pernah dua kali punya pengalaman buruk dan sekali pengalaman dilayani oleh RSUAM. Dua pengalaman buruk terjadi saat anak sulung saya sakit muntaber pada 1999. Tanggal persisnya saya lupa. Yang jelas, waktu itu saya sedang tidak ada di Lampung. Saya masih di Jakarta karena mengikuti crash programme beasiswa LPDS-ISAI-LP3Y.

Sambil menangis, lewat telepon istri saya cerita bahwa anak saya tidak bisa segera dirawat di RSUAM karena tidak ada uang jaminan. Jadi, kala itu, istri saya diminta semacam uang muka dulu agar anak saya bisa segera ditangani. Setelah dapat pinjaman –entah dari mana–akhirnya istri saya bisa memastikan anak saya yang sudah tak berdaya itu dirawat di ruang anak RSUAM.

Pengalaman kedua tidak saya alami langsung, tetapi dialami oleh adik ipar saya beberapa tahun lalu. Bayi adik ipar saya masuk rumah sakit. Karena adik ipar saya memakai kartu Jamkesmas, ada seorang perawat berlaku kasar. Ia sering memarahi adik ipar saya ketika adik ipar saya protes perawat telat memberikan obat tetes yang memang tidak boleh diberikan telat. Ketika adik ipar saya menangis  dan karena anaknya nyaris sekarat lantaran obat telat diberikan, perawat itu malah memarahinya.Lalu meninggalkan adik ipar saya.

Memang, ketika itu saya tak bisa menahan emosi. Langsung saya datangi kepala ruangan dan saya protes keras. Saya juga menelepon salah satu pejabat RSUAM agar mendidik anak buahnya dengan benar. Akhirnya kepala ruangan dan perawat dipanggil atasannya. Lalu mereka mengklarifikasi kepada saya dan bersumpah tak ada perawat yang berlaku kasar dan marah-marah.

Kini, ketika ada kabar RSUAM atau rumah sakit pemerintah mana pun menolak pasien miskin, entah kenapa saya tidak kaget. Meski begitu, saya sebenarnya paham betul bahwa dalam kondisi semiskin apa pun tidak sepantasnya pihak rumah sakit mengusir pasien. Pasien tidak punya kartu jaminan kesehatan bukan alasan bagi pihak rumah sakit untuk menolak pasien. Kartu sehat hanyalah soal urusan administrasi. Itu bisa diurus ketika pasien sudah masuk ruang perawatan.

Kalau rumah sakit menolak pasien miskin, bahkan membuang pasien hingga pasien itu meninggal dunia seperti dialami seorang kakek di RSU Dadi Tjokrodipo milik Pemkot Bandarlampung, beberapa waktu lalu, lebih baik RS pemerintah ditutup saja. Atau, kalau masih tetap buka, pasang saja plang ukuran segede alaihim dengan tulisan huruf besar: ORANG MISKIN DILARANG SAKIT. KAMI TIDAK MELAYANI ORANG MISKIN.

Baca Juga: Membuang Orang Sakit