Menambatkan Hati

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Saat menjadi penguji kualifikasi doktor, penulis  ‘keseleo ucap’ dengan menyebut ‘prakualifikasi’. Hal itu langsung diprotes oleh seorang mahasiswa dengan s...

Menambatkan Hati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Saat menjadi penguji kualifikasi doktor, penulis  ‘keseleo ucap’ dengan menyebut ‘prakualifikasi’. Hal itu langsung diprotes oleh seorang mahasiswa dengan sedikit melotot matanya dengan minta klarifikasi. Hal itu lumrah saja,  karena mahasiswa tersebut  belum pernah tua, sementara saya sudah pernah muda. Ia belum pernah merasakan keseleo ucap itu seperti apa. Namun itu tidak penting. Karena ada yang lebih menarik perhatian pada peristiwa ini, yaitu salah satu mahasiswa yang dimintai pertangungjawaban akademik ingin meneliti bagaimana seharusnya bekerja dengan hati. Diskusi yang dikembangkan oleh anggota tim penguji menjadi sangat seru, karena “kebaharuan” penelitian ini membuat rancangan penelitiannya menjadi hidup.

Kita tinggalkan meja ujian dan sedikit mundur untuk mengambil jarak rasa untuk menyimak bekerja dengan hati yang jika disepadankan akan ketemu istilah “menambatkan hati”. Istilahy ini menjadi sangat subjektif jika dihubungkan dengan cinta anak manusia yang ditakdirkan dengan pasanganannya.

Menambatkan hati pada pasangan hidup, kepada keluarga, kepada pekerjaan, dan lainnya adalah suatu proses totalitas menghayati suatu kehidupan dengan memosisikan diri melebur ke dalam rasa yang hakiki. Oleh karena itu,  ketertambatan hati terhadap sesuatu akan membuat orang tidak hanya berhubungan secara organis, tetapi lebih kepada fungsi. Karena merasa satu sama lain menyadari akan fungsinya, maka hubungan rasa akan terbentuk dan terjalin sedemikian rupa sehingga ikatan itu menjadi sangat kokoh.

Masih banyak kita jumpai hubungan yang terbangun hanya sekadar hubungan organis, yang ini ditandai dengan adanya organisasi sebagai pengikatnya. Oleh karena untuk mengatur masing masing organ, maka diperlukan perangkat organisasi, seperti Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dan lainnya  sebagai turunannya. Hubungan seperti ini menjadi hubungan yang “tanpa roh”.  Akhirnya mereka yang ada di atas merasa bebas saja menekan ke bawah sebagai stuktur. Pegawai datang, absen, kerja, pulang, habis bulan gajian; tidak ada keterpautan rasa memiliki tempat  dia bekerja, yaitu rasa handarbeni (merasa memiliki)  untuk membawa pulang ke rumah apa yang ada di kantor, untuk dipindahtempat dan dipindahtangankan kepada pribadi dan keluarga.

Pada momen inilah banyak  organisasi tanpa nyawa yang kita simak akhir-akhir ini sebagai fenomena baru yang muncul. Bisa dibayangkan ketua partai bisa kalah disomasi anggota dalam putusan pengadilan, seorang pimpinan di organisasi membuat aturan “orangku” dan “bukan orangku”; ketua Rukun Tetangga membuat aturan untuk penerima bantuan “saudaraku” versus “bukan saudaraku”. Masih banyak lagi kalau mau kita perpanjang daftar ini. Sesuatu itu terjadi karena organisasi dibangun hanya mengaitkan masing masing organ pada struktur saja, tanpa adanya “roh” yang disambungteruskan sebagai penggerak substansial.

Persoalan menambatkan hati ini memang menjadi menarik jika kita mau sedikit berfikir akan keyakinan yang kita yakini. Bisa dibayangkan jika kita sedang menghadap Tuhan, ini diukur dari penampilan fisik tampaknya kusyuk atau hikmat sekali, tetapi saat itu sebenarnya pikiran dan hati kita tidak hadir dihadapan Tuhan. Pertanyaannya: apakah betul kita sedang menyembah Tuhan? Mari kita adili diri sendiri sebelum diadili oleh Yang Maha Adil.

Apakah kita sudah bekerja dengan benar jika sebagai pendidik? Apakah dia guru apalagi dosen, jika saat kita dihadapan peserta didik secara fisik, tetapi hati dan pikiran kita tidak hadir bersama mereka? Apakah kita tidak sedang melakukan pengkhianatan profesi, jika hal itu memang terjadi?

Saat kita menerima tampuk kepemimpinan suatu organisasi, apa pun namanya, jika sebelum kita dilantik sudah memikirkan ingin menyingkirkan mereka yang tidak sejalan; apakah kita menjadi pemimpin yang tidak memiliki roh sehingga kehilangan hatinurani. Begitu dilantik bukan program yang disusun dan merangkul semua yang berbeda, tetapi menggali parit yang dalam untuk mengisolasi diri. Padahal, esensi menambatkan hati kepada apa yang kita lakonkan di dunia ini, akan menjadikan kita “petarung kehidupan sejati”. Oleh karena itu, tidak ada dendam apa lagi kebencian terhadap siapa atau apa yang berbeda, karena dalam menjalankan semua dirinya berpedoman kepada ketentuan keilahian.

Hidup bukanlah tentang siapa yang terbaik, tetapi siapa yang bisa berbuat baik. Juga bukan pura pura baik. Tidak salah jika orang bijak mengatakan “Carilah tempat kita dihargai, bukan tempat kita dibutuhkan, karena   terkadang orang cuma butuh tapi lupa cara menghargai”. Jangan pula kita bermimpi igin menjadi yang sempurna. Sebab, ketidaksempurnaanlah yang menyempurnakan kita sebagai manusia. Justru salah satu cara untuk menemukenali ketidaksempurnaan tadi dengan menambatkan hati kepada Yang Maha Sempurna.

Selamat menikmati kopi hangat!