Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (2)

Slamet Samsoerizal* Secara garis besar, puisi-puisi Taufiq Ismail memberikan sumbangan di  bidang pendidikan dalam tiga hal. Pertama, puisi-puisi yang ditulisnya dikaji dan dipelajari mulai dari  tingkat pendidikan dasar hingga pendid...

Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (2)
Slamet
Samsoerizal*
Secara garis besar, puisi-puisi Taufiq Ismail memberikan
sumbangan di  bidang pendidikan dalam
tiga hal. Pertama, puisi-puisi yang
ditulisnya dikaji dan dipelajari mulai dari 
tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kedua, muatan puisinya selalu 
mengandung unsur didik. Ketiga, penyebarluasan
puisi-puisinya kepada khalayak menyebabkan keberadaannya sebagai pendidik
semakin kokoh.
Sebagaimana diketahui, Taufiq Ismail dikenal sebagai
sastrawan Angkatan 66. Dalam kaitan ini, karya-karyanya –terutama
puisi—dipelajari mulai dari siswa SMP, SMA dan mahasiswa jurusan sastra maupun
mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Secara khusus
kumpulan antologinya seperti Tirani (1966),
Benteng (1966), , Buku Tamu Musium
Perjuangan
(1972), Sajak Ladang
Jagung
(1974), Kenalkan, Saya Hewan
(sajak anak-anak)
(1976), Puisi-puisi
Langit
(1990), Ketika Kata Ketika
Warna
(1995), Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia
(1998) merupakan sejumlah karyanya yang dijadikan rujukan bahan
pembelajaran.
Teknik dan isi yang ditampilkan melalui puisi-puisi
tersebut didiskusikan, dipelajari dan diapresiasi dengan beragam keperluan. Ada
yang menjadikan puisi tersebut sebagai lomba baca puisi. Ada pula yang
memanfaatkan puisi-puisinya  sebagai
makalah baik siswa, mahasiswa, maupun pakar pada sebuah seminar.  Puisinya yang berjudul Karangan Bunga  termasuk
bahan puisi yang banyak dikutip pada buku-buku pelajaran bahasa Indonesia pada
tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. 
Sedangkan puisi berjudul Kembalikan
Indonesia Padaku
menjadi puisi wajib pada lomba-lomba baca puisi antar
sekolah.
Sumbangan kedua Taufiq Ismail lewat puisi-puisi yang
ditulisnya banyak bermuatan unsur didik. Dalam Tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Musium Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak) (1976), Puisi-puisi Langit (1990), Ketika Kata Ketika Warna (1995), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
(1998), dan puisi-puisi lain yang tersebar di berbagai media massa dan
acara-acara penting — yang belum sempat dibukukan; unsur didik diungkapkan
dalam berbagai bentuk.
Ada protes Taufiq Ismail terhadap rezim yang lalim masa
Orde Lama sebagaimana dalam Tirani  dan
Benteng
. Nada pahit, perih, pekik, keluh, amarah diungkap kembali dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI) sebagai
wujud protes atas Rezim Orde Baru yang menyebarkan virus kebobrokan akhlak
kepada masyarakat. Ada pula sindiran
parodi sebagaimana diungkapkan kala ia mengritik prinsip ekonomi yakni
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya;
lalu oleh Taufiq ditulis: /sesal dahulu pendapatan/sesal kemudian pengeluaran
// dalam Sajak Ladang Jagung.
Puisi Takut ’66,
Takut ’ 98
ditulis Tauifiq dengan penuh humor, meledek sekaligus
mengingatkan pemimpin bangsa (Indonesia) yang lengser karena adanya -siklus
takut –baik saat Orde Lama maupun Orde Baru– 
mahasiswa. Simak tuturannya:
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
Pengamat Tinju
Taufiq Ismail adalah pengamat dan praktisi  yang tajam. Lontaran kritiknya sering membuat
orang terpana.   Orang seperti sering
ditepuk-diingatkan. Ketika pertandingan tinju menjadi idola masyarakat, Taufiq Ismail
menulis dua puisi Lupa Aku Nomor  Teleponnya, Lonceng Tinju dan Tak Tahan 
Aku Menatap Sinar Matamu
pada 25, 26 
dan 27 Februari 1989. Kebetulan ketiga pusi tersebut ditulis menjelang
pertandingan tinju : Ellyas Pical melawan Mike Phelps di Singapura dan Mike
Tyson melawan Frank Bruno di Las Vegas Amerika Serikat.  Kemudian Taufiq Ismail kembali mengangkat
puisi tinjunya pada 3 September 1988 dengan judul Memuja Kepalan Menghina Kepala.
Kegemaran masyarakat (modern) terhadap tinju yang begitu
menggebu, membuat Taufiq Ismail prihatin dan geram. Ia ingin mengingatkan
masyarakat, jika tinju — yang diistilahkannya dengan ‘adu manusia’ — tidak saja membuat seseorang menjadi kecut, namun
menimbulkan penyesalan bagi sang petinju sendiri. Setelah pertandingan adu
manusia, salah satu dari mereka mungkin terkena KO (Knock Out) jatuh terkapar, pingsan, terkena Parkinson, koma bahkan
banyak juga yang akhirnya meninggal dunia dengan batok kepala yang remuk akibat
dihujani bertubi-tubi kepalan sang lawan.
Dalam Memuja
Kepalan Menghina Kepala
Taufiq Ismail melukiskan wawancara seorang wartawan
olah raga dengan dua tengkorak petinju yang sudah meninggal dunia. Dengan imajinasinya Taufiq Ismail merekam wawancara itu
melalui baris-baris puisinya: /Sesudah sepuluh tahun berlalu/ sesudah seribu
juta di saku/orang melupakan daku/ketika aku lumpuh dan gagu//kata tengkorak
yang satu//. Lalu: /Bangsaku pemuja kepalan/karena tujuh hurufnya/Bangsaku
penghina kepala/karena hurufnya enam Cuma// Jawab tengkorak yang satunya//.
Nasib petinju pada akhirnya seringkali sampai begitu.
Saat sang petinju sedang di puncak popularitas, ia dipuja-puja. Lalu dilupakan
saat keadaannya tidak lagi populer: 
jelek, tua, dan pikun! Maka, lewat puisi Lupa Aku Nomor  Teleponnya (dalam antologi MAJOI ditambah
judulnya menjadi Lupa Aku Nomor  Telepon Hakim Agung Bismar Siregar),  Taufiq Ismail tidak habis pikir, mengapa adu
manusia terus diminati orang?
Semua orang tahu, bahwa sasaran tinju adalah kepala.
Kepala tempat bersarangnya otak. Otak, sebagai pusat kecendekiaan kemanusiaan
–dihantam, ditinju, dibentur, dan dibantai berkali-kali hingga mata  sang petinju nanar, tubuhnya limbung, dan
terkulai-terkapar.  /Aku bingung/Ini
bagaimana?// ungkapnya melalui puisi tersebut.
Korban
adu manusia dari hari ke hari semakin berguguran. Laporan Majalah Ring terbitan Amerika (1989) mencatat
dalam kurun waktu 70 tahun terakhir 500 petinju Amerika meninggal karena
perdarahan otak. Bagaimana dengan kita? Cukup membuat bulu kuduk kita
merinding. Sejumlah anak muda kita yang menggeluti pertinjuan juga mengalami
nasib yang sama tragisnya! Nama-nama seperti: Ricky Huang, Aceng Jim, Nasir
Kitu, Domo Hutabarat, Agus Souissa dan Wahab Bahari adalah mereka yang mati
tragis karena perdarahan otak setelah bertinju di atas ring.
Itu
pula yang menjadi titik tolak puisi Taufiq Ismail berjudul Wahab Bahari, Tak Tahan Aku Menatap Sinar Matamu. Lewat larik-larik
puisinya, ia berkabar: /Mereka anak-anak kita/Penuh cita-cita/Tapi mati
muda/Mati sesudah naik gelanggang/atau sehabis latihan/Otak mereka gegar dan
berdarah/Itu sakit sekali/Mereka meninggal dalam sunyi/Tidak masuk berita
televisi/Tidak dimuat halaman satu Koran pagi/Mereka dilupakan/Tidak punya
uang/Dan pergi/Dalam sepi//.
_______________   
*) Peneliti pada Pusat
Kaji Darindo