Ojo Dumeh atawa Dang Seago-ago

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Tulisan saya beberapa waktu lalu yang ada di media ini, menjadikan diskusi panjang dengan sohib-sohib pemerhati masalah sosial dan filsafat. Salah seorang di antaranya mengajak diskusi dengan m...

Ojo Dumeh atawa Dang Seago-ago

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Tulisan saya beberapa waktu lalu yang ada di media ini, menjadikan diskusi panjang dengan sohib-sohib pemerhati masalah sosial dan filsafat. Salah seorang di antaranya mengajak diskusi dengan menyandingkan konsep ojo dumeh dari budaya Jawa dengan dang seago-ago dari budaya Lampung, kaitannya dengan pimpinan daerah yang “bermurah tangan” memberi bantuan kepada intansi vertikal. Diskusi menjadi begitu menarik jika dikaitkan dengan bentuk kepedulian akan nasib warga kota yang harus memikul beban pajak, sementara penggunaan hasil pendapatan daerah dipakai untuk hal yang bukan koridor kedaerahan.

Rangkuman diskusi tadi jika dipaparkan dari kacamata filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:
Memberi adalah tindakan yang secara umum dipandang sebagai simbol kebaikan, kemurahan hati, dan tanggung jawab sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, memberi sering dianggap sebagai jalan mulia yang mempertemukan rasa peduli dan solidaritas antarmanusia. Namun, dalam ruang kekuasaan, memberi tidak lagi sesederhana itu. Tindakan memberi, terutama ketika dilakukan oleh seseorang yang memegang otoritas publik, menyimpan kompleksitas etis yang jauh lebih dalam dari sekadar niat baik.

Dalam ruang ini, niat baik bisa menjadi samaran bagi kepentingan lain, bisa menjadi alat kuasa yang membungkus dominasi dengan wajah kemurahan. Di sinilah filsafat dan kebijaksanaan lokal bertemu: untuk menakar niat, menguji kepatutan, dan membatasi kuasa dalam tindakan yang secara lahiriah tampak baik.
Dalam beberapa budaya lokal, terdapat petuah yang merepresentasikan kebijaksanaan etis semacam ini.

Ungkapan seperti ojo dumeh dalam bahasa Jawa dan dang seago-ago dalam bahasa Lampung bukan sekadar petuah warisan, tetapi refleksi moral mendalam tentang posisi manusia dalam struktur sosial dan kekuasaan. Ojo dumeh adalah peringatan agar tidak bertindak semena-mena karena merasa memiliki kuasa, pengetahuan, atau kelebihan. Sementara dang seago-ago adalah seruan untuk tidak bertindak sembarangan, untuk menimbang terlebih dahulu sebelum melangkah. Keduanya menjadi pengingat bahwa setiap tindakan, bahkan yang tampak sebaik memberi sekalipun, harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan kendali diri.

Dalam praktik pemerintahan, contoh konkret yang relevan adalah ketika seorang wali kota memberikan bantuan kepada instansi vertikal. Bantuan itu bisa berupa gedung, kendaraan, alat operasional, bahkan dukungan logistik lainnya. Di permukaan, tindakan ini tampak sebagai bentuk dukungan dan kerja sama antarlembaga. Namun secara struktural dan etis, muncul banyak pertanyaan. Instansi vertikal bukan bagian dari struktur pemerintahan daerah. Mereka berada langsung di bawah komando pemerintah pusat, dan memiliki jalur anggaran serta mekanisme internal tersendiri. Maka ketika kepala daerah menggunakan anggaran publik daerah untuk memberikan bantuan kepada instansi semacam ini, terjadi suatu pelintasan batas administratif dan moral.

Batas ini penting. Bukan untuk menghalangi sinergi, melainkan untuk menjaga keadilan dan integritas tata kelola. Dalam dunia filsafat, batas bukanlah penghalang kebebasan, melainkan penjaga keutuhan etis dalam relasi sosial. Tanpa batas, niat baik bisa berubah menjadi kooptasi. Tanpa kendali, bantuan bisa menjadi alat membangun loyalitas atau bahkan mengamankan posisi kekuasaan. Memberi dalam konteks kekuasaan bukan lagi soal kepedulian, tetapi menyangkut relasi kuasa yang kompleks. Ketika seorang pejabat publik memberikan sesuatu kepada lembaga yang memiliki fungsi pengawasan atau penegakan hukum, maka muncul potensi konflik kepentingan. Bantuan itu bisa menciptakan relasi timbal balik yang mengaburkan garis netralitas dan objektivitas kelembagaan.

Lebih dari itu, tindakan semacam itu dapat mencederai prinsip keadilan struktural. Lembaga penegak hukum, misalnya, dituntut untuk bersikap independen dalam menjalankan tugasnya. Namun ketika mereka menerima bantuan langsung dari kepala daerah, baik secara sadar maupun tidak, terbentuk hubungan simbolik yang penuh beban. Publik bisa kehilangan kepercayaan. Aparat menjadi tampak tidak lagi netral, dan kepala daerah seolah memperoleh posisi istimewa yang tidak dimiliki warga atau institusi lain. Di sinilah nilai dari ojo dumeh kembali berfungsi: bahwa kekuasaan, betapapun besarnya, tidak boleh digunakan semaunya. Ia harus ditundukkan kepada kebijaksanaan yang lebih besar, yakni menjaga keseimbangan kekuasaan dan martabat publik.

Dalam filsafat kontemporer, memberi bukanlah tindakan tunggal yang netral. Ia adalah tindakan yang mengandung relasi, posisi, dan kuasa. Pemberi dan penerima tidak pernah berada dalam posisi setara sepenuhnya. Pemberi cenderung memiliki kendali atas bentuk, waktu, dan tujuan pemberian. Karena itu, ketika seseorang dalam posisi kuasa memberi, ia harus sadar bahwa tindakan itu memiliki dampak sosial-politik yang luas. Dalam konteks kepala daerah, memberi kepada lembaga di luar kewenangannya tanpa regulasi yang jelas dan proses yang transparan merupakan bentuk pengambilan alih peran yang bisa membahayakan integritas sistem pemerintahan.

Tindakan seperti itu juga sering dilakukan atas nama efisiensi atau kebutuhan bersama. Misalnya, kepala daerah beralasan bahwa bantuan diberikan agar lembaga tersebut bisa bekerja lebih optimal demi kepentingan masyarakat. Namun di balik alasan itu, kerap tersembunyi praktik lain: pencitraan, penjagaan relasi politik, bahkan investasi sosial yang bisa dikonversi menjadi kekebalan informal. Inilah yang disebut sebagai moralitas yang terdistorsi oleh kekuasaan. Di titik ini, Dang Se Ago-Ago menjadi relevan: bahwa setiap tindakan harus melewati pertimbangan matang, bukan hanya berdasarkan niat, tetapi juga pada dampaknya bagi tatanan sosial dan kelembagaan.

Filsafat juga mengajarkan bahwa etika bukan hanya soal benar dan salah, tetapi soal kepekaan terhadap relasi. Memberi bantuan kepada instansi vertikal secara sepihak tanpa melalui musyawarah, tanpa mekanisme pengawasan, dan tanpa partisipasi masyarakat, merupakan tindakan yang melanggar etika demokrasi. Demokrasi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan dana publik. Ketika wali kota bertindak secara personal, atas nama pemerintahan daerah, namun tanpa konsultasi dan legitimasi yang kuat, maka tindakan itu kehilangan dasar moralnya. Ia menjadi keputusan sepihak yang rawan disalahpahami, bahkan disalahgunakan.

Selain itu, memberi dalam konteks kekuasaan juga bisa menjadi sarana pengaruh tak kasat mata. Ketika seorang kepala daerah memberikan sesuatu kepada lembaga hukum atau vertikal lainnya, pemberian itu membawa serta beban tak terlihat. Di kemudian hari, lembaga yang telah menerima bantuan bisa mengalami dilema ketika harus bersikap tegas terhadap pemerintah daerah. Tindakan hukum atau pengawasan bisa menjadi tumpul karena rasa sungkan, rasa terhutang, atau pertimbangan relasi personal. Di sinilah bahaya terbesar pemberian yang tidak tepat berada: ia merusak tatanan hukum dan prinsip kesetaraan lembaga dalam negara hukum. Ia menciptakan “jaringan kebaikan” yang bersifat manipulatif, kebaikan yang tampaknya tulus, namun mengandung jebakan kekuasaan.

Dalam sistem yang sehat, kolaborasi antarlembaga tetap diperlukan. Namun kolaborasi harus dibingkai oleh mekanisme yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Bantuan atau dukungan antarlembaga harus melalui prosedur yang jelas, berdasarkan kebutuhan riil, dan didasarkan pada kesetaraan kelembagaan, bukan kedekatan personal. Tanpa itu, bantuan akan kehilangan integritasnya. Ia bukan lagi alat memperkuat kelembagaan, tetapi menjadi alat memperpanjang pengaruh dan memperlemah pengawasan.

Etika memberi dalam ruang publik juga menuntut kesadaran akan simbol. Tindakan memberi yang dilakukan oleh pejabat negara tidak bisa dibaca secara terpisah dari persepsi publik. Publik menilai bukan hanya substansi tindakan, tetapi juga simbol dan motif di baliknya. Jika publik menilai bahwa bantuan kepada instansi vertikal adalah bentuk pembelian loyalitas atau pengamanan posisi, maka kepercayaan terhadap institusi itu akan melemah. Kepercayaan ini adalah fondasi dari pemerintahan yang bersih. Sekali kepercayaan itu hilang, maka tindakan apapun, sebaik apapun, akan selalu dicurigai sebagai bagian dari permainan politik yang manipulatif.

Karena itu, memberi harus menjadi tindakan yang dipandu oleh prinsip tanggung jawab. Ia bukan ruang untuk memperlihatkan kuasa, bukan tempat untuk menunjukkan superioritas, apalagi untuk membangun utang budi antar lembaga. Memberi dalam kekuasaan adalah ujian atas kedewasaan moral. Ia harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa kekuasaan adalah titipan, dan bahwa setiap tindakan akan meninggalkan jejak, bukan hanya pada hubungan antar institusi, tetapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Nilai-nilai seperti ojo dumeh dan dang seago-ago adalah warisan budaya yang perlu dihidupkan kembali, terutama dalam ruang-ruang kekuasaan yang hari ini semakin sering meminjam bahasa kebaikan untuk menutupi kepentingan tersembunyi. Dalam dunia politik yang penuh dengan permainan simbol, kita perlu petunjuk moral yang membumi dan relevan. Nilai-nilai itu tidak hanya membimbing individu dalam bertindak, tetapi juga menjaga agar struktur sosial tetap berjalan pada jalurnya: jalur keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab. Ketika seorang pejabat mampu memberi tanpa merasa lebih tinggi, tanpa menciptakan ketergantungan, dan tanpa merusak struktur, maka ia sedang menjalankan kekuasaan sebagai bentuk pengabdian, bukan dominasi.

Akhirnya, yang perlu selalu diingat adalah bahwa memberi bukanlah akhir dari niat baik. Ia adalah awal dari rangkaian tanggung jawab. Di dalamnya terkandung kehati-hatian, kesadaran posisi, dan kesediaan untuk mempertanggungjawabkan setiap dampaknya. Dalam dunia yang semakin penuh dengan kerumitan moral, batas bukanlah penghalang kebaikan. Ia adalah pagar yang membuat kebaikan tetap bermakna. Dalam kekuasaan, hanya mereka yang mampu menahan diri, yang layak dipercaya untuk memberi.