Bandar Lampung Butuh Ruang Terbuka Hijau, Kampus Bukan Lagi Alternatif Utama

Bandar Lampung Butuh Ruang Terbuka Hijau, Kampus Bukan Lagi Alternatif Utama

Oleh: Muhammad Hakiem Sedo Putra

Setiap akhir pekan, pemandangan serupa selalu terlihat di sejumlah kampus di Bandar Lampung. Banyak warga datang bersama keluarga untuk berolahraga, bersantai, atau sekadar menikmati udara segar. Kampus kini menjadi tempat pelarian warga kota dari padatnya suasana perkotaan. Fenomena ini menarik, tapi juga menyedihkan: kenapa warga kota justru mencari ruang hijau di lingkungan kampus, bukan di taman kota?

Jawabannya sederhana: karena ruang terbuka hijau (RTH) di Bandar Lampung masih sangat minim. Di tengah maraknya pembangunan dan pertumbuhan kawasan hunian serta komersial, ruang hijau publik makin terpinggirkan. Padahal, keberadaan RTH bukan hanya sekadar memperindah kota, melainkan bagian penting dari sistem kehidupan kota yang sehat, lestari, dan berkelanjutan.

RTH, Lebih dari Sekadar Taman

Banyak orang masih memandang RTH hanya sebatas taman kota atau area untuk foto-foto. Padahal, fungsi ruang terbuka hijau jauh lebih besar dari itu. RTH berperan sebagai daerah resapan air yang membantu mengurangi limpasan saat hujan deras dan meminimalkan risiko banjir yang kerap melanda wilayah perkotaan.

Selain itu, RTH juga menjadi ruang konservasi alami. Di tengah panasnya aspal dan beton, ruang hijau menjadi paru-paru kota yang menyejukkan udara dan menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak kalah penting, RTH juga bisa menjadi sarana edukasi bagi anak-anak untuk mengenal flora, fauna, serta pentingnya menjaga lingkungan sejak dini.

Bagi masyarakat, keberadaan taman kota atau ruang hijau yang nyaman juga berarti memiliki ruang sosial yang sehat. Di sana, warga bisa berinteraksi, berolahraga, atau sekadar beristirahat dari tekanan aktivitas harian. Bagi pelaku usaha kecil, RTH bahkan dapat menjadi peluang ekonomi — tempat UMKM menjajakan makanan dan minuman, yang secara tidak langsung menumbuhkan ekonomi lokal.

Sudah Ada Ikon Baru, Tapi Belum Cukup

Beberapa tahun terakhir, Bandar Lampung memang mulai memiliki ruang publik baru di pusat kota, seperti ikon masjid megah dengan sedikit area bermain dan tempat berkumpul keluarga. Keberadaan fasilitas ini patut diapresiasi karena memberi warga ruang alternatif untuk beraktivitas di luar rumah.

Namun sayangnya, fasilitas yang tersedia cepat rusak dan kurang terawat, sementara jumlahnya masih jauh dari cukup untuk menampung kebutuhan masyarakat yang semakin besar. Banyak warga yang ingin sekadar berolahraga, bersantai, atau membawa anak-anak bermain, tetapi ruang publik yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penduduk kota.

Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan ruang publik di Bandar Lampung bukan hanya soal menambah jumlah RTH, tetapi juga tentang menjaga dan memelihara fasilitas yang sudah ada. Di sinilah pentingnya edukasi kepada masyarakat agar ikut menjaga fasilitas umum yang dibangun pemerintah. Kesadaran kolektif untuk merawat taman, menjaga kebersihan, dan tidak merusak fasilitas publik menjadi bagian penting dari budaya kota yang beradab.

Saatnya Pemerintah Bergerak

Fenomena warga yang memanfaatkan kampus sebagai “ruang hijau alternatif” dan cepat rusaknya fasilitas publik seharusnya menjadi sinyal penting bagi pemerintah kota. Sudah saatnya Bandar Lampung memiliki lebih banyak RTH yang mudah diakses publik, aman, dan nyaman untuk semua kalangan.

Pemerintah dapat memanfaatkan lahan-lahan kosong atau area publik yang belum produktif menjadi taman kota multifungsi. Bahkan, konsep RTH modern bisa dikombinasikan dengan embung atau danau buatan untuk membantu menampung air hujan, memperkaya keanekaragaman hayati, sekaligus memperindah wajah kota.

Selain menambah jumlah RTH, pengelolaan dan pemeliharaannya juga tidak kalah penting. Kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, komunitas lingkungan, dan pelaku UMKM dapat menjadi solusi agar RTH tetap hidup, aktif, dan bermanfaat bagi warga.

Menuju Kota yang Bersahabat dan Berkelanjutan

Bandar Lampung memiliki potensi besar untuk menjadi kota yang hijau dan bersahabat bagi warganya. Namun, itu hanya bisa tercapai bila ruang terbuka hijau mendapat perhatian serius dalam perencanaan tata kota.

Beberapa langkah sederhana bisa dilakukan: melakukan audit luas dan kondisi RTH saat ini, menambah taman di kawasan padat, melibatkan masyarakat dalam perawatan, serta memastikan setiap pembangunan baru menyisakan area hijau yang cukup.

Ruang terbuka hijau bukan sekadar “pemanis kota”, tetapi sumber kehidupan kota. Ketika warga bisa menikmati taman yang rindang, anak-anak bermain dengan aman, fasilitas publik terawat, udara lebih bersih, dan ekonomi kecil bergerak, maka kota ini benar-benar hidup.

Bandar Lampung tidak boleh terus menjadi kota yang warganya mencari keteduhan di kampus. Kota ini harus punya ruang terbuka hijau yang layak dan memadai — tempat di mana semua orang bisa beristirahat, belajar, berinteraksi, dan merasakan bahwa kota ini memang milik bersama.***

*Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T., M.T., adalah dosen di Program Studi Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera (ITERA). Ia ahli dalam bidang hidroogi Forensik dan Sumberdaya Air. Aktif dalam riset pengelolaan sumber daya air, konservasi lingkungan, serta edukasi kebencanaan di masyarakat.