Masjid di Tengah Pasar

Asarpin* Saya belum pernah ke Masjidil Haram, tapi mendengar cerita orang-orang yang pernah berhaji, masjid  agung itu kini dikepung oleh toko, warung dan plaza serta bangunan apartemen.  Umar Kayam almarhum pernah protes secara priba...

Masjid di Tengah Pasar
Asarpin*
Saya
belum pernah ke Masjidil Haram, tapi mendengar cerita orang-orang yang pernah
berhaji, masjid  agung itu kini dikepung
oleh toko, warung dan plaza serta bangunan apartemen.  Umar Kayam almarhum pernah protes secara
pribadi dalam hatinya ketika ia menunaikan ibadah haji melihat di sekitar masjid
kebanggaan umat Islam itu berdiri pasar dan pusat perbelanjaan.
Pak
Kayam mungkin tak tahu atau lupa bahwa sejarah masjid di Timur Tengah sejak dulu
berdiri di tengah-tengah pasar, pusat perdagangan dan keramaian masyarakat.  Saya pernah membaca informasi sejarah ini
dalam sebuah buku yang saya lupa pengarang dan judulnya tapi saya ingat betul
bahwa banyak masjid di masa lalu bahkan di masa kini berdiri di tengah pasar.
Di negeri
kita juga demikian. Organisasi seperti Muhammadiyah memiliki andil besar
berdirinya masjid-masjid di pasar. Sewaktu saya masih kecil, di kampung kami
ada sebuah pasar kecil yang sebagian besar pedagangnya orang Minang. Di tengah
pasar itu berdiri sebuah masjid yang lumayan besar yang didirikan para pedagang
yang semuanya berpaham Muhammadiyah. Tapi ketika tidak ada lagi pedagang Minang
di pasar itu, masjid itu terlantar dan akhirnya dibiarkan roboh karena di
lingkungan pasar itu para penganut Nanhdhatul Ulama.
Di
beberapa pasar terjadi hal yang sama. Kebetulan mertua saya orang Minang dan
pedagang. Hampir setiap pasar yang pernah dijadikan tempatnya dan
teman-temannya berjualan, selalu didirikan masjid. Mungkin ini ada hubungan
dengan istilah “pasar” itu sendiri yang menurut Minangkabau disebut “licin”
(jalan). Jadi pasar adalah jalan mencari nafkah sekaligus jalan menuju Tuhan.
Orang Minang
memang paling doyan mendirikan masjid di tengah pasar.  Hampir setiap pasar yang pernah dijadikan basis
perdagangan selalu dijumpai masjid yang tak jauh dari pasar. Di Tanah Abang, Jakarta Pusat, masjid ramai karena tempatnya di tengah pasar.
Di Pasar Bambu
Kuning, Bandarlampung, kita bisa lihat bagaimana pedagang buah-buahan sudah sangat mepet di
tembok masjid dekat Rumah Makan Kamang. Di Pasar Talangpadang dan pasar Pringsewu
juga demikian. Bahkan di Ulu Belu, abupaten Tanggamus, para pedagang mingguan
mendirikan masjid di sekitar pasar tempel.  Mereka datang dari Bandarlampung, Pringsewu,
Talang Padang, dan Gisting untuk berjualan hingga ke Pasar Datarajan yang
paling ujung.
Soal etos
membangun masjid,  tak ada yang
mengalahkan etos orang Minang yang pedagang. 
Ini terkait dengan mata pencaharian sebagian besar mereka yang tinggal
di kota atau pinggiran kota bekerja sebagai pedagang tidak tetap. Setiap mereka
memasuki pasar baru tak lama kemudian akan berdiri masjid di situ. Tapi yang
menyedihkan adalah ketika mereka sudah tak di pasar itu lagi, masjid yang
mereka bangun sering dibiarkan tak terpakai dan akhirnya roboh.
Kalau  mendengar mertua saya membicarakan pembangunan
masjid baru, saya melihat betapa bersemangatnya ia dan teman-temannya. Mereka rela
merogoh uang dapur demi tegaknya masjid yang ingin mereka dirikan di pasar baru.
 Tapi mungkin pula karena Muhammadiyah
memiliki kedekatan paham keagamaan dengan Arab Saudi yang puritan,  maka sebagian dana pembangunan masjid oleh Muhammadiyah
berasal dari Arab Saudi. Mungkinkah ini sebuah infiltrasi Wahabi ke
Muhammadiyah?    


*Esais