Korupsi Proyek Bandara Radin Inten II, Benarkah Albar Hasan Tanjung Hanya Jadi Tumbal?

ZAINAL ASIKIN | TERASLAMPUNG.COM Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sidrotul Akbar menunut hukuman tujuh tahun penjara bagi mantan Kadis Perhubungan Lampung, Albar Hasan Tanjung, dalam kasus korupsi proyek pembebasan lahan untuk perluasan Bandara Radin Inten...

Korupsi Proyek Bandara Radin Inten II, Benarkah Albar Hasan Tanjung Hanya Jadi Tumbal?
Bandara Radin Inten II (Ilustrasi)

ZAINAL ASIKIN | TERASLAMPUNG.COM

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sidrotul Akbar menunut hukuman tujuh tahun penjara bagi mantan Kadis Perhubungan Lampung, Albar Hasan Tanjung, dalam kasus korupsi proyek pembebasan lahan untuk perluasan Bandara Radin Inten II, Rabu (14/12/2016).

Dari persidangan diketahui, kasus yang menjerat mantan Dandim Lampung Barat ini terjadi saat Dishub Provinsi Lampung memiliki paket pekerjaan konstruksi land clearing pematangan lahan fasilitas Bandara Radin Inten II, Lampung Selatan, senilai Rp8,7 Miliar. Dana tersebut untuk pekerjaan penimbunan dengan volume pekerjaan sebanyak 54.718 meter kubik dengan harga Rp137 ribu per meter kubik.

Dalam pekerjaan itu, Albar bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sementara PT Daksina Persada sebagai pemenang tender dengan Budi Rahmadi sebagai direkturnya. Namun, setelah dilakukan penelitian, terdapat selisih volume 20.615 meter kubik dari yang seharusnya 54 ribu meter kubik dan kekurangan volume kepadatan timbunan sebesar 9.374 ton.

Atas kekurangan volume tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Lampung melakukan audit. Hasilnya: terdapat kerugian negara sebesar Rp4,5 miliar.

Pada tuntutannya, jaksa tidak menuntut Albar membayar uang pengganti kerugian negara. Hal tersebut karena Albar tidak menikmati uang korupsi sebesar Rp 4,5 miliar.

Menurut Sidrotul Akbar, uang dari hasil korupsi tersebut mengalir ke orang lain. Yakni Budi Rahmadi dan Sulaiman oknum Brimob, namun sampai saat ini Sulaiman tidak dijadikan tersangka.

Korupsi proyek land clearing Bandara Radin Inten II terjadi pada Agustus hingga Desember 2014 lalu. Dinas Perhubungan, memiliki paket pekerjaan konstruksi pada land clearing tersebut dengan nilai pagu sebesar Rp 8,7 miliar.

Pada proses lelang, dimenangkan oleh PT Daksina Persada dengan kuasa direktur Budi. Namun proses lelang itu, dianggap tidak sah karena Budi bukan karyawan tetap perusahaan sebagaimana yang diatur dalam Perpres No 70 tahun 2012.

Karena Albar telah menitipkan pesan kepada panitia pengadaan untuk memenangkan PT Daksiana Persada, maka panitia memenangkan PT Daksina Persada. Setelah itu, Albar Hasan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) menandatangani kontrak dengan Budi.

Dalam prosesnya, Albar Hasan membayarkan uang tanpa melakukan pengujian kualitas dan besaran volume yang terpasang pada proyek land clearing. Pada saat pemeriksaan fisik, disebutkan adanya selesai 100 persen dan faktanya pekerjaan baru mencapai bobot 92 persen.

Kemudian untuk mengejar batas akhir pencairan, Budi bersama Albar membuat laporan akhir pekerjaan seakan-akan pekerjaan land clearing dan pematangan lahan sisi udara baru telah selesai 100 persen.

Jaksa menyatakan, pengerjaan proyek ini tidak sesuai dengan spek yang telah disepakati, terdapat kekurangan volume dimensi dan kekurangan volume timbunan hasil pemeriksaan kualitas kepadetan.

Rangkaian perbuatan tersebut, kata jaksa Sidrotul, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,5 miliar.