Koreksi
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Selesai menuaikan kewajiban keilahian di sepertiga malam, kebiasaan membuka piranti sosial; ternyata ada pesan dari redaktur media yang kita baca ini . Ia memberikan koreksi pada naskah yang di...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Selesai menuaikan kewajiban keilahian di sepertiga malam, kebiasaan membuka piranti sosial; ternyata ada pesan dari redaktur media yang kita baca ini . Ia memberikan koreksi pada naskah yang dikirim. Intinya agar penulus mencantumkan sumber dari kutipan secara lugas biar pembaca dengan mudah menangkap makna referensialnya. Atau setidaknya pembaca bisa mengecek referensi yang dipakai penulis.
Atas koreksian ini, rasa syukur diucapkan kepada redatur karena telah memberikan peringatan atas keteledoran sebagai seorang ilmuwan. Karena prinsip dasar ilmuwan itu harus jujur menyebut kutipan sebagai rujukan, tinggal tekniknya mengikuti aturan tata tulis di mana tulisan akan diterbitkan.
Sisi lain, saat ini baru selesai periodisasi mengkoreksi hasil kerja mahasiswa; beberapa masa yang telah lalu ada peristiwa yang menggelikan. Saat nilai telah diumumkan, datang seorang mahasiswa ingin klarifikasi mengapa nilainya hanya mendapat baik, tidak amat baik sesuai prediksinya. Karena pangkalan data yang dibuat penulis lengkap; dari kehadiran, nilai tugas dan kelengkapan lainnya, maka saat yang bersangkutan diberi penjelasan tentang data pribadinya, yang bersangkutan ciut nyali. Dngan sangat mengiba, ia memohon dinaikkan nilainya menjadi amat baik. Dengan bijak dijelaskan jika dia naik skornya berarti satu kelas harus naik satu tingkat. Kasihan mereka yang ada pada nilai amat baik sekali, mau dinaikkan sudah tidak ada lagi kolomnya. Atas dasar koreksian permintaan itu, mahasiswa pengiba ini mundur teratur.
Ternyata koreksi itu penting. Nahkan Tuhan selalu memberikan koreksi pada mahluk-Nya. Hanya terkadang karena rendahnya kesadaran akan sikap keberagamaan, mahluk tidak menyadari bahwa dirinya sedang mendapat koreksi dari Tuhan. Koreksi dari Tuhan itu dapat menimpa siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam bentuk apa saja. Masalahnya, mampukah kita menangkap pertanda itu sebagai koreksi. Di sini memerlukan kebeningan berpikir dan kedalaman rasa untuk menghayatinya.
Kisah yang bersumber dari “Santri Mbeling” menceritakan pada suatu saat Syekh Abul Qadir Al-Jaelani bersama muridnya melakukan perjalanan. Dalam perjalanan dihadang oleh seorang pemabuk berat. Dengan santun Syekh bertanya kepada yang bersangkutan, ada apa gerangan. Pemabuk berat tadi bertanya apakah Allah mampu mengubah pemabuk seperti dirinya menjadi ahli taat seperti Syekh.
Dengan senyum yang menyejukkan Syekh menjawab, tentu mampu, karena Allah Maha Kuasa. Pertanyaan berikut: apakah Allah mampu mengubah ahli maksiat seperti dirinya , menjadi ahli taat setingkat diri Syekh. Sekali lagi dengan sangat lembut Syekh menjawab sangat mampu karena Allah Maha Kuasa Atas segalanya. Pertanyaan terakhir, apakah Allah mampu mengubah Syekh menjadi pemabuk dan ahli maksiat. Pertanyaan inilah yang membuat Syekh Abul Qadir Al-Jaelani tersungkur menangis tersedu-sedu. Beliau menyadari betul hanya kehendak-Nya atas koreksi apa pun di dunia dan isinya.
Ternyata koreksi itu penting karena pembeda antara kebenaran dan kesalahan itu lebih tipis dari kulit bawang yang sangat halus sekalipun. Berbahagialah manusia yang selalu mendapatkan koreksi dari Sang Pemilik Hidup saat dia masih di dunia; karena jika setelah di alam pengadilan, yang ada bukan koreksi tetapi memungut hasil apakah pahala atau dosa.
Kita tidak perlu heran manakala menemukan seseorang sebelum menjadi pejabat tampak santun, hormat dan sangat agamis; namun begitu menjadi pejabat berubah seratus delapan puluh derajat. Menjadi sombong, keras kepala, angkuh dan sifat buruk lainnya. Ini berarti yang bersangkutan sedang dalam perjalanan yang bisa jadi jabatannya menjadikan koreksi bahwa sifat atau perilaku yang ditampilkan selama ini adalah palsu, justru aslinya adalah yang ditampilkan saat menjadi pejabat. Semua itu kekuasaan Tuhan atas mahluknya; yang mampu membolak-balikkan hati hanya Sang Pemilik Hidup. Dan ini terang bednerang ada dalam kitab suci-Nya.
Koreksi itu tidak harus kesengsaraan, penderitaan atau apa pun tidak enak lainnya menurut ukuran manusia. Bisa saja koreksi itu berupa nikmat, kejayaan atau apapun kenikmatan lainnya menurut ukuran manusia; hanya mampukah kita menangkap sinyal keilahian itu. Di sana ternyata bahasa rasa menjadi alat untuk menemukenali tanda tanda yang terkadang tertutup oleh nafsu duniawi kita sebagai mahluk-Nya.
Oleh karena itu, benar apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib: “Mengejar rezeki, jangan mengejar jumlahnya, tetapi berkahnya”. Saat kita mendapatkan koreksi dari Tuhan, maka dengan senang hati kita menerima apa pun bentuknya.
Selamat menikmati kopi hangat di Jumat pagi…