Kopi Pagi: Syahrul Yasin Limpo
Tomi Lebang Entah bagaimana suasana hati Syahrul Yasin Limpo kini saat kabar penangkapan adiknya Dewi berkesiur di semua angin yang membawa berita. Tentu ada kerisauan dan kecemasan. Saya hanya bisa mengira-ngira. Saya mengenal Syahrul di perteng...

Tomi Lebang
Entah bagaimana suasana hati Syahrul Yasin Limpo kini saat kabar penangkapan adiknya Dewi berkesiur di semua angin yang membawa berita. Tentu ada kerisauan dan kecemasan. Saya hanya bisa mengira-ngira.
Saya mengenal Syahrul di pertengahan karirnya sebagai birokrat, saat ia menjadi Kepala Humas Pemerintah Provinsi Sulsel, dan saya mahasiswa yang menjadi koresponden sebuah media ibukota.
Dalam rentang waktu dua puluh tahun sejak itu, setiap kali berjumpa dengannya, saya tak melihat perubahan yang mencolok: ia tetap pria murah senyum, tak berjarak, mengingat kawan, merangkul dengan hati. Dengannya, saya tak merasa bertemu seorang gubernur sebuah provinsi besar. Ia kerap datang ke warung kopi, berbaur dan melempar canda dengan pengunjung lain.
Dan intuisi saya mengatakan, Syahrul seorang pejabat yang bersih. Sikapnya tak menunjukkan ia silau dengan jabatan. Ia cukup jauh dari rumor, dan tak pernah ada kabar ia bisa disuap. Yang menonjol dari Syahrul dan kerap jadi ledekan di belakangnya – ledekan yang jenaka – bahwa ia senang dengan bintang-bintang. Lencana-lencana yang rame ala tentara. Ia suka berbaju dan celana loreng, seragam ormas atau uniform coklat gurun. Dalam sebuah foto, ia menginspeksi pasukan di sebuah upacara, berjalan tegap, tidak menggenggam tongkat komando tapi memegang telepon genggam.
Tapi Syahrul Yasin Limpo adalah pemimpin klan. Sepeninggal ayahnya, Yasin Limpo – guru politik Jusuf Kalla – Syahrul jadi pemimpin keluarga, seperti daimyo dalam cerita-cerita Eiji Yoshikawa.
Di Sulsel, keluarga Yasin Limpo dikenal sebagai “dinasti”. Itulah sebabnya, ketika undang-undang pemilihan kepala daerah yang mengekang laju keluarga petahana diundangkan beberapa waktu lalu, keluarga Yasin Limpo disorot media massa sebagai korban pertama. Salah satu isi undang-undang itu, mereka yang boleh mencalonkan diri di pilkada, “tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan” — sungguh kabar buruk bagi kerabat-kerabat pejabat kepala daerah di Indonesia.
Keponakan Syahrul, Adnan Purichta Ichsan kemudian tampil sebagai “pahlawan”, menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi, dan menang. Dengan itu, kelangsungan keluarga besar Yasin Limpo di panggung politik tetap terjaga. Tentakel keluarga tetap terjulur ke mana-mana. Sebagai gambaran, inilah keluarga besar itu, keluarga Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel sejak 2007.
Adik Syahrul, Dewi Yasin Limpo adalah anggota DPR RI. Adiknya yang lain, Ichsan Yasin Limpo baru menanggalkan jabatannya dua periode sebagai bupati Gowa – dan kabarnya hendak maju ke gelanggang pemilihan gubernur pada 2017 nanti. Saudara perempuan lainnya, Tenri Olle Yasin Limpo baru saja melepas jabatannya sebagai anggota DPRD Sulsel dan maju sebagai Calon Bupati Gowa. Ia bersaing dengan keponakannya sendiri, Adnan Purichta Ichsan, putra Ichsan Yasin Limpo.
Sementara saudaranya yang lain, Irman Yasin Limpo kini menjabat sebagai Plt. Bupati Luwu Timur, sebelumnya menjabat Kepala BKPM Sulsel. Adapun Haris Yasin Limpo menjabat sebagai Direktur Utama PDAM Makassar. Putri Syahrul sendiri, Indira Thita, adalah anggota DPR RI dari fraksi PAN.
Saya bisa membayangkan, hari-hari yang berat yang kini dilewati Syahrul, daimyo Yasin Limpo di Sulawesi Selatan.
Seusai penangkapan adiknya Dewi, khalayak akan disuguhi aneka berita yang tentu mengabaikan segala privasi sebagai tokoh publik. Kehidupan keluarganya akan ditelisik, dicermati, dan disebar dengan aneka bumbu. Cepat atau lambat kasus yang menimpa adiknya, akan menjadi bola salju pemberitaan: pada saatnya akan mengulas segala isu kerabat.
Kekuasaan memang adalah sebuah seni. Dan kekuasaan selalu beriringan dengan hasrat orang sekeliling. Jika kekuasaan dan ketamakan berkelindan, rusak pula bangunan besar kekerabatan. Itulah sebabnya, mereka yang berhasil memisahkan kekuasaan dan hasrat keluarganya, akan menjadi legenda dan ditulis dengan tinta emas dalam sejarah.
Saya percaya, hidup Syahrul tak berjelaga. Ia hanya sayang keluarga.