Kerja Jumat, Pulang Kamis
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi menjelang siang, ruangan kerja penulis kedatangan kru televisi milik bangsa ini yang akan mengambil gambar dalam rangka hari ulang tahunnya yang ke enampuluh. Wadyabala lembag...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pagi menjelang siang, ruangan kerja penulis kedatangan kru televisi milik bangsa ini yang akan mengambil gambar dalam rangka hari ulang tahunnya yang ke enampuluh. Wadyabala lembaga ini rata rata berusia milenial, kecuali ketua rombongan yang sudah sedikit senior. Sebelum pekerjaan utama dimulai, kegiatan itu dimulai dengan minum teh bersama sambil bersendagurau ala kerja milenial. Karena sudah tidak muda lagi, penulis harus menyesuaikan diri dengan mereka dalam semua aspek interaksinya. Salah satu diantara mereka nyeletuk bahwa mereka harus mengedit semua rekaman gambar maupun suara setelah pekerjaan lapangan selesai, dan itu dikerjakan diruangan tertutup kedab suara, sampai sampai mereka tidak mengetahui hari apa, dan tanggal berapa saat itu. Oleh karena itu mereka sering membuat “guyonan”; salah satu diantaranya kerja jumat, pulang kamis.
Bersamaan dengan itu ada seorang karyawan dari satu gerai terkenal di negeri ini yang memviralkan bagaimana seorang pengunjung yang merangkap sebagai “pengutil”. Sekalipun persoalan utama sudah diselesaikan dengan perdamaian, namun ada yang tersisa bagaimana pendapatan gaji bulanan dari para pegawai gerai terkenal itu; yang menetapkan aturan harus mengganti jika ada barang yang hilang.
Persoalannya tidak pada hilang dalam pengertian raib, namun kebanyakan hilang dalam pengertian diambil orang, dalam bahasa Jawa orang yang mengambil begini disebut “ngutil”. Mereka tidak memiliki ilmu memahami konsumen yang berkaitan dengan kutilmengutil ini. Karena ada yang mengutil itu merupakan pekerjaan, namun ada yang memang terkena penyakit psikologi tingkat ringan yang disebut Kleptomani. Urusan ini kita serahkan kepada para pelaku yang konon sudah berdamai; namun ada yang menarik, ternyata pegawai gerai tadi yang memiliki pendapatan relative kecil, tidak jauh berbeda dengan para kru di atas; memiliki jam kerja ship siang dan malam, merekapun jika ada teman yang berhalangan karena sesuatu dan lain hal harus menggantikan, berarti mereka harus bekerja berangkat jumat pulang kamis. Belum lagi Gerai yang diberi tugas harus buka duapuluh empat jam; ini berarti karyawannya harus siap siaga diruang jual, tentu bisa jadi mereka juga lupa hari.
Kedua persoalan di atas ada esensi yang dahsyat didalamnya yaitu: tidak ada sesuatu yang besar terjadi tanpa ditopang oleh elemen yang kecil. Station televise tidak akan menampilkan acara yang bagus, enak ditonton, tanpa ada petugas kameramen yang tanpa berkedip ada dibalik lensa pandang. Toko wiralaba yang menjamur itu tidak berarti apa apa tanpa perjuangan para pramuusaha yang dengan setia melayani pelanggan. Sekalipun sedang tidak enak badan, bahkan sakit gigi sekalipun, namun harus tetap tersenyum ramah kepada para pengunjung, termasuk kepada yang mengidap klemptomani.
Jika kita memahami esensi mereka; manakala kita berlaku dholim kepada mereka yang kecil kecil itu, maka dosa hukumnya, adalah sesuatu yang tepat adanya. Menjunjung yang kecil, menghormati yang besar, mensejajarkan yang setara; adalah pekerjaan mulia yang sudah sepatutnya kita lakukan sebagai manusia yang beradab. Hanya terkadang kita menjadi silau melihat yang besar, merendahkan yang kecil, menyepelekan yang sejajar. Apalagi saat kita menjadi petinggi atau pejabat, seolah semua yang di bawah adalah rendah, dan harus menengadah untuk berduli paduka seolah raja.
Bekerja membanting tulang dari jumat sampai kamis ternyata perbuatan yang diridhoi Tuhan; asal jangan lupakan apalagi mengabaikan panggilannya setiap saatnya tiba. Tuhan tidak membedakan jenis pekerjaan atau status dalam pekerjaan, ukuran yang Tuhan berikan adalah keihlasan dan ketaqwaan kita dalam menjalaninya. Peran bisa berganti, waktu terus berlalu, namun ketulusan dalam menjalani adalah keberkahan yang tidak akan berakhir.
Orang yang bekerja itu mulia dibandiingkan dengan yang meminta-minta; dan berapapun besaran pendapatan, itu adalah hasil tetes keringat sendiri yang wajib disyukuri. Hal itu sesuai firman-Nya: makin kita mensyukurinya, maka nikmat itu akan ditambah oleh-Nya. Jangan tanyakan cara, tempat dan waktu; karena semua itu hak prerogratif-Nya. Kita hanya bisa berdoa dengan kekhusukan masing masing untuk menyongsong rahmat-Nya. Meminjam nasehat dari Buya Hamka: manusia diciptakan dari tanah, hidup di atas tanah, makan dari hasil tanah, dan akan kembali ke tanah, kenapa harus berfikir langit.
Semoga nasihat itu menjadi renungan kita semua untuk tetap mensyukuri apa yang telah Tuhan beri.
Selamat ngopi pagi…