Jaring Sutra

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Definisi/arti kata ‘jaring’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat penangkap ikan, burung, dan sebagainya yang berupa siratan (rajutan) tali. Sedangkan yang...

Jaring Sutra

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Definisi/arti kata ‘jaring’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat penangkap ikan, burung, dan sebagainya yang berupa siratan (rajutan) tali. Sedangkan yang lebih khusus untuk ikan dimaknakan sebagai jala: yaitu alat yang digunakan untuk menangkap Ikan. Jaring/Jala ikan yang jerat biasanya dibentuk oleh benang jahitan yang relatif tipis mengikat. Sedangkan Jala/Jaring- sutera, merupakan gabungan dua kata yakni: jala dan sutera. Artinya jala suatu alat penangkap ikan itu betul-betul istimewa, karena hanya di peruntukkan buat menangkap ikan yang istimewa juga, yakni ikan wader merah bersisik kencana. Kata yang terakhir ini adalah kata kiasan diperuntukkan dari sesuatu yang istimewa, dan akan kita bahas pada kesempatan lain.

Istilah Jaring Sutra ini sering digunakan sebagai makna kiasan dari “jebakan” halus yang dibuat untuk menjatuhkan lawan politik, atau mereka yang tidak disukai; dan ini dilakukan dengan sangat halus dan rapi sekali. Sejarah telah mengukir bagaimana Jaring Sutra dipasang agar kemenangan diperoleh dengan mudah. Ingat bagaimana seeorang raja di Pulau Jawa yang dijebak dengan cara menikah dengan anak musuhnya, kemudian pada waktu “sowan” dihadapan Raja yang note bene adalah Mertuanya sendiri, kepalanya dipenggal, kemudian ditanam di bawah kursi kerajaan.

Seiring perkembangan jaman, cara licik ini diperhalus tekniknya. Jaring Sutra dapat berbentuk fasilitas, kemudahan, hadiah, dan masih banyak lagi yang ditebar untuk perangkap yang dapat dimasuki oleh lawan; baik itu lawan politik atau lawan dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu, diperlukan kontra spionase untuk dapat menemukenali jebakan Jaring sutra ini agar terhindar dari malapetaka. Mereka yang cerdas akan memasang telinga melalui orang kepercayaan atau yang dipercayai, baik secara nyata dibangun, atau melalui simpatisan yang tanpa bayar.

Semua di atas adalah bersifat individual; yang mengerikan adalah jika itu merupakan sistem yang dibuat sistemik, sehingga Jaring Sutra ini dapat menangkap hasil yang lebih besar. Secara kasat mata jaring ini tidak tampak, seolah-olah semua baik-baik saja, sejatinya ada lubang besar yang dibangun untuk menjembloskan suatu untuk dapat dijadikan mangsa taman labirin yang dipersiapkan. Sebagai contoh seorang tokoh di negeri ini saat kampanye menjanjikan akan memproduksi kendaraan dalam negeri sendiri dengan merek tertentu. Namun begitu, yang bersangkutan berkuasa, Jaring Sutra meringkusnya dengan ancaman jika gagasan tadi diteruskan, maka kampanye akan tidak dibiayai, karena uang yang dipakai saat kampanye adalah hasil penjualan dari kompetitornya. Maka sang pemimpin harus ihlas dengan menjilat ludah sendiri untuk tidak meneruskan janjinya, karena dirinya telah tersandera Jaring Sutra.

Perilaku dari pemilik modal yang akan melanggengkan busnisnya; tidak segan-segan memasang Jaring Sutera kepada para birokrat atau calon pemimpin birokrat untuk membiayai kampanyenya, dengan imbalan semua jejaring bisnisnya aman dari pembayaran pajak atau jenis pungutan lainnya, atau kemudahan mendapatkan ijin dari pengembangan tambang uangnya, atau minimal usaha yang sudah ada tidak disentuh hukum.

Tidak berbeda dengan yang sudah berkuasa; ada jaring sutera yang dipasang oleh orang tertentu untuk melanggengkan kekuasaan serta mendapatkan “hak-hak istimewa”; sehingga dengan leluasa dapat menanamkan pengaruh melalui orang-orang kepercayaannya. Pada akhirnya pemimpin tertinggi hanya sebagai simbol, dengan kaki yang sudah diamputasi sedemikian rupa; tentu akibat lanjut semua akan mempengaruhi gerak organisasi. Untuk mengambil keputusan tegas pun sudah sangat sulit, karena lidahnya sudah patah.

Karena halusnya permainan dalam menggunakan Jaring Sutra; maka seolah-olah semua peristiwa mengalir begitu saja; padahal semua sudah didisain sedemikian rupa; bagi mereka yang memiliki indera yang tajam baru dapat mengendus kelakuan jelek ini. Anehnya jika informasi tersebut disampaikan kepada pemimpin tertinggi, pada umumnya mereka tidak menanggapi, bahkan hal ini dianggap halusinasi belaka. Namun begitu “angin putting beliuang” melanda organisasi; baru mereka sadar, dan untuk itu semuanya sudah terlambat. Dari penelusuran sejarah hal-hal seperti ini sering terjadi, tetapi tetap tidak pernah menjadi pembelajaran.

Bagi pemimpin yang cerdas dan memiliki intuisi yang tajam; maka akan menangkap semua sinyal-sinyal sebagai informasi dini, terlepas dari siapa informasi itu di peroleh, guna untuk dijadikan modal kewaspadaan dan keselamatan, baik pribadi maupun organisasi. Banyak pemimpin dunia yang gagal menangkap sinyal ini, akhirnya berakibat fatal sampai merenggut nyawa. Terbunuhnya Presiden Mesir Anwar Sadat, Presiden Amerika Serikat Kenedy, informasi intelegent sudah masuk namun mereka abai. Terakhir tiga hari sebelum gempa dahsyat melanda Turki, ternyata sudah ada pemberitauan dini dari seorang ilmuwan Belanda, namun diabaikan; bahkan beberapa jam sebelum kejadian tanda-tanda alam seperti lolongan anjing yang tidak biasa, migrasi burung besar besaran; semua diabaikan; begitu bencana datang, baru semua orang terhenyak akan kekeliruannya.

Banyak diantara kita tidak peka akan “sinyal ketuhanan” yang telah dikirim sebelum sesuatu terjadi; dan itulah tanda sayang Tuhan pada mahluknya. Namun ternyata k# ita lebih suka jika yang datang adalah pujian, bukan peringatan; karena kita sering salah mengartikan sesuatu atas dasar maunya kita, bukan maunya Tuhan.

Selamat ngopi pagi.