Aspek Etis dalam Kebijakan Publik

Oleh Syarief Makhya Bolehkah seorang kepala daerah menganggarkan dana sebesar 2 miliar rupiah untuk membeli kendaraan dinas? Apakah anggota Dewan melakukan perjalanan dinas lebih dari 15 kali dalam satu tahun, bisa dibenarkan ? Aau dalam kasus lain:...

Aspek Etis dalam Kebijakan Publik
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Bolehkah seorang kepala daerah menganggarkan dana sebesar 2 miliar rupiah untuk membeli kendaraan dinas? Apakah anggota Dewan melakukan perjalanan dinas lebih dari 15 kali dalam satu tahun, bisa dibenarkan ? Aau dalam kasus lain: apakah pemerintah kabupaten/kota boleh mendanai pembangunan kantor lembaga lain dengan anggaran puluhan miliar rupiah dari APBD, sementara kebutuhan prioritas seperti perbaikan jalan rusak atau fasilitas puskesmas tidak diprioritaskan?

Dalam kasus-kasus kebijakan seperti ini, biasanya dijawab dengan logika yuridis formal, yaitu selama kebijakan tersebut tidak bertentangan atau tidak melanggar hukum, maka dianggap sah dan dapat diimplementasikan. Pembenaran dari aspek legal formal tersebut kemudian digunakan sebagai alat untuk menangkis kritik atas kebijakan-kebijakan yang kontroversial, tidak sejalan dengan aspirasi publik dan mengabaikan prinsip-prinsip etis dalam kebijakan publik.

Hingga saat ini, aspek legal-formal masih memegang peranan dominan dalam proses penentuan kebijakan dan dijadikan kerangka hukum sebagai dasar dan legitimasi atas tindakan yang dilakukan pemerintah, sehingga selama tindakan tersebut tidak melanggar aturan hukum, maka dianggap sah dan akan aman dari jeratan hukum.

Namun, akibat dominasi pendekatan legal-formal ini, perilaku para pejabat dalam mengalokasikan anggaran yang bersumber dari dana publik cenderung menjadi sewenang-wenang. Mereka kerap memonopoli penafsiran atas kebijakan, sehingga pembentukan kebijakan menjadi elitis dan tertutup.

Dalam logika seperti ini, pemilihan isu dan penetapan prioritas kebijakan tidak lagi berdasarkan kebutuhan masyarakat luas, melainkan didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Orientasi kebijakan pun bergeser dari yang seharusnya untuk kepentingan publik menuju kepentingan birokratik dan politis, yang berdampak capaian tujuan kebijakan menjadi bias.

Fenomena pembentukan kebijakan yang elitis dan sepihak diperkuat oleh struktur kekuasaan yang terpusat, sehingga secara formal kekuasaan nyaris tak bisa dikontrol baik kontrol dari masyarakat maupun oleh DPRD. Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat semestinya menjadi garda terdepan dalam menjalankan fungsi pengawasan, termasuk menolak arah kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat atau yang tidak masuk dalam skala prioritas. Namun, dalam praktiknya, peran Dewan justru lebih sering terlihat sebagai pemberi legitimasi formal terhadap kebijakan, dan mengenyampingkan aspirasi publik yang berkembang.

Sementara itu, sekalipun masyarakat, media sosial, dan kelompok-kelompok kritis telah menyuarakan protes dan penolakan terhadap arah kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, suara-suara tersebut sering kali diabaikan. Kritik publik dilawan melalui pembenaran berbasis logika hukum dan legitimasi yuridis-formal; alasan sudah sesuai dengan prosedur selalu dipakai dasar melakukan pembenaran kebijakan yang diputuskan.

Isu-isu publik yang dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti kerusakan infrastruktur jalan, keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan di puskesmas, serta persoalan kebersihan lingkungan, tidak lagi menjadi prioritas. Bahkan, isu-isu tersebut cenderung terpinggirkan dalam agenda kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, terjadi paradoks kebijakan: di satu sisi pemerintah mengklaim adanya surplus anggaran yang digunakan untuk membangun gedung-gedung perkantoran mewah, namun di sisi lain, kebutuhan mendesak masyarakat kerap diabaikan dengan alasan keterbatasan anggaran.

Fenomena kebijakan semacam ini mencerminkan kecenderungan untuk mengabaikan dimensi etis dalam proses perumusan kebijakan. Aspek etis kebijakan, dalam hal ini, mencakup keberpihakan terhadap kepentingan publik, keadilan dalam alokasi sumber daya, serta tanggung jawab moral untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat secara adil dan proporsional.

Aspek Etis

Kebijakan publik pada prinsipnya tidak bersifat netral. Dalam setiap kebijakan, hampir selalu ada keberpihakan terhadap kelopok sasaran kebijakan yaitu ada yang diuntungkan dan ada yang dikorbankan. . Oleh karena itu, dalam perspektif etis, proses perumusan kebijakan seharusnya bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap kelompok manapun, serta memaksimalkan manfaat bagi kepentingan masyarakat secara luas.

Sebagai contoh, jika pemerintah dihadapkan pada pilihan antara memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas, atau membangun gedung perkantoran mewah dengan anggaran yang sangat besar, maka dari sudut pandang etis, kebijakan yang seharusnya diprioritaskan adalah pemenuhan kebutuhan mendesak masyarakat yakni sektor-sektor yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan publik.

Jadi, dalam perspektif ini, kebijakan publik harus dipahami sebagai aspek fungsional dan teknis dari tata kelola pemerintahan, yang pada hakikatnya bertujuan untuk mengendalikan dan mendistribusikan kembali sumber daya publik. Pemilihan mekanisme dan logika pendistribusian ulang tersebut memerlukan pertimbangan etis.

Aspek etis dalam kebijakan publik menuntut keberpihakan pada keadilan sosial, kemanfaatan bersama, serta kepedulian terhadap kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Suatu kebijakan tidak hanya harus sah secara hukum, tetapi juga adil secara moral dan berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Kebijakan publik seharusnya mempertimbangkan upaya rekonsiliasi antara kepentingan individu, kelompok, dan organisasi yang saling bertentangan, dengan berpedoman pada nilai-nilai yang disepakati bersama dan yang memengaruhi tujuan serta prinsip dalam proses perumusannya.

Dalam praktiknya, pertimbangan etis sering kali bersinggungan dengan aspek politik. Namun demikian, primasi moralitas atas politik berlandaskan pada asumsi bahwa loyalitas terhadap integritas moral merupakan hal yang utama. Oleh karena itu, tindakan politik apa pun hanya dianggap sah apabila selaras dengan prinsip-prinsip moral.

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah kebijakan publik tidak hanya diukur dari segi legalitas atau efektivitas implementasinya, tetapi juga dari sejauh mana kebijakan tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai etis, terutama dalam mengutamakan keadilan, kesejahteraan, dan kepentingan masyarakat secara luas.***

Dr. Syarief Makhya, staf pengajar FISIP Universitas Lampung