Ironi Dunia
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Universitas Malahayati Lampung Hari-hari ini dunia maya dihebohkan berita seorang tanpa bukti sedikit pun melakukan kejahatan, namun divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan jumlah waktu tahun tertentu dan denda ter...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Hari-hari ini dunia maya dihebohkan berita seorang tanpa bukti sedikit pun melakukan kejahatan, namun divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan jumlah waktu tahun tertentu dan denda tertentu. Alasan yang dijadikan dasar putusan adalah memperkaya pihak ketiga, dan menjalankan paham filosofi tertentu. Sementara filosofi itu sedang dijalankan oleh banyak pihak dimana hakim itu bekerja – bisa jadi hakim sendiri sedang menjalankan paham itu.
Banyak orang geleng kepala, namun apa daya yang benar tidak selamanya menang.
Dalam idealisme moral, kita diajarkan sejak kecil bahwa kebaikan akan menang, kejujuran akan dihargai, dan kebenaran akan selalu muncul sebagai pemenang. Tapi seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan realitas lain: orang jujur justru dikorbankan, yang korup justru naik jabatan, yang tulus disingkirkan, dan yang menipu dipuja. Inilah ironi dunia.
Tulisan ini akan mencoba membahas mengapa hal ini terjadi, apa dampaknya bagi nilai-nilai kemanusiaan, serta bagaimana kita tetap bisa berpegang pada kebenaran meski tahu ia tak selalu membawa kemenangan duniawi.
“Yang Benar tidak Selalu Menang”. Kalimat ini bukan pernyataan pesimis, melainkan pengakuan atas realitas sosial dan politik yang sering kali tidak adil. Kemenangan, dalam konteks umum, sering kali ditentukan oleh kekuatan, uang, pengaruh, dan kemampuan manipulasi. Sedangkan kebenaran adalah soal integritas, kejujuran, dan prinsip, hal-hal yang seringkali berjalan lambat dan sunyi. Dan, keduanya sering tidak berjalan seiring, bahkan tidak jarang sering bertentangan.
Lalu mengapa kebenaran bisa kalah? Ada beberapa alasan mengapa kebenaran, meskipun jelas, bisa tetap kalah dalam sistem sosial kita.
Pertama, sistem yang rusak. Banyak institusi tidak lagi berjalan untuk melayani keadilan, melainkan menjadi alat kepentingan yang berkuasa. Dalam sistem seperti ini, kebenaran bisa dikubur oleh kekuasaan.
Kedua, ketidakseimbangan kekuasaan. Yang benar sering tidak punya sumber daya. Sementara yang salah, tapi kuat, bisa menyewa pengacara, membeli opini publik, bahkan menekan hukum; karena memiliki uang yang tak terhitung banyaknya. Sehingga dapat berbuat apa saja, terutama bisa membeli pejabat yang lemah imannya.
Ketiga, publik yang tak peduli. Kebenaran membutuhkan pembela. Namun banyak masyarakat terlalu sibuk atau apatis untuk memperjuangkannya. Dalam ruang kosong itu, kebohongan tumbuh subur. Dan, akhirnya kebohongan dibangun untuk menjadi alasan pembenaran.
Keempat, kebenaran itu mahal. Berpihak pada yang benar sering berarti menanggung risiko: kehilangan pekerjaan, diancam, atau disingkirkan. Tak semua orang siap membayar harga itu.
Dampak dari Kekalahan Kebenaran, adalah: Pertama, melemahnya Kepercayaan pada Hukum dan Sistem.
Kedua, ketika orang melihat bahwa orang jujur dikalahkan dan yang salah bebas, mereka kehilangan kepercayaan pada hukum dan institusi. Ini bisa melahirkan sikap sinis atau bahkan anarki. Dan, tidak jarang menjadi apatis.
Ketiga, frustrasi moral masyarakat. Orang baik menjadi takut bicara. Nilai-nilai moral kehilangan tempat. Kita mulai percaya bahwa untuk menang, kita harus menipu. Ini membunuh etika kolektif.
Keempat, budaya diam dan kompromi. Semakin banyak orang memilih diam demi aman. Mereka lebih memilih bertahan di zona nyaman ketimbang melawan arus demi kebenaran. Dengan alasan menyelamatkan periuk nasi dan keluarga, seolah membenarkan sikapnya.
Saat kebenaran dikalahkan oleh sistem, masih ada satu bentuk kemenangan yang tak bisa dirampas yaitu: kemenangan moral. Ketika seseorang tetap berdiri di pihak yang benar meski dikalahkan, ia menang atas dirinya sendiri. Ia menang atas rasa takut. Ia menang atas rayuan kompromi. Kemenangan moral tidak memberikan harta, tetapi memberikan dignitas atau harga diri. Dan, harga diri adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli.
Apa yang harus kita lakukan saat yang benar tidak menang? Pertama, angan ikut menyerah meskipun pahit. Kebenaran tetap layak diperjuangkan. Karena jika tidak, maka hanya kebohongan yang akan bersuara.
Kedua, dukung mereka yang berani. Whistleblower, aktivis, dan pembela kebenaran perlu dukungan dan bukan hanya tepuk tangan, tapi perlindungan dan solidaritas.
Ketiga, pendidikan moral sejak dini. Generasi baru perlu diajarkan bahwa menang dengan curang bukan kemenangan sejati. Etika harus ditanam sejak sekolah.
Keempat, gunakan suara dan posisi kita. Dalam media sosial selalu ada ruang untuk menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan suara kebenaran tenggelam.
“Ironi Dunia: Yang Benar Tidak Selalu Menang” adalah kenyataan yang menyakitkan, tapi bukan alasan untuk menyerah. Kebenaran mungkin tidak menang hari ini, tapi ia meninggalkan jejak. Ia menginspirasi. Ia memperkuat nurani. Dan, seringkali, dalam sunyi, dalam kekalahan yang menyakitkan, kebenaran sedang membangun jalannya sendiri menuju kemenangan yang lebih abadi. Kebenaran yang tidak menang akan diterima dengan kepala tegak sebagai kasatria keadilan.***