Inilah Alasan Dua Hakim MK Berkukuh Uji Materi UU MD3 Seharusnya Diterima
Maria Farida Indrarti. (dok rimanews.com) JAKARTA, Teraslampung.com–Dua dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati, tidak sependapat dengan hakim MK lainnya dalam menilai Undang-Undang No...
| Maria Farida Indrarti. (dok rimanews.com) |
JAKARTA, Teraslampung.com–Dua dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati, tidak sependapat dengan hakim MK lainnya dalam menilai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Pada sidang MK dengan agenda uji materi UU tersebut, Senin (29/9). Arief Hidayat dan Maria Farida mengajukan disenting opinion terkait MK yang menolak uji materi yang diajukan PDIP.
Arief Hidayat menegaskan, politik hukum yang dipilih pembentuk undang-undang yang mengubah mekanisme penentuan pimpinan DPR perlu diuji konstitusionalitasnya. Alasannya, kata dia, bisa saja sebuah politik hukum bertentangan dengan konstitusi apabila undang-undang yang dihasilkan tidak memenuhi syarat-syarat pembentukan hukum yang baik yang tertuang dalam UU 12 Tahun 2011.
Menurut Arief, mekanisme pemilihan Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap Pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPP yang salah satunya menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.
“Masyarakat pengguna hak pilih tentunya berharap bahwa Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya berasal dari partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu lembaga perwakilan, karena sejatinya partai yang memperoleh suara terbanyak berarti partai tersebut memperoleh kepercayaan dari sebagian besar masyarakat,” ujar Arief yang diwakili Hamdan Zoelva.
Arief menegaskan, UU MD3, khususnya terkait kewenangan DPD, sangat tidak memperhatikan Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tanggal 27 Maret 2013 yang telah merekontruksi kembali kewenangan DPD.
“Pembentuk undang-undang belum mengakomodir materi muatan tentang kewenangan DPD sebagaimana telah diputuskan oleh MK, sehingga DPD mengajukan kembali pengujian formil dan materil UU MD3 atas permasalahan konstitusional yang sama,” tegas Arief.
Selain itu, kata Arief, UU MD3 yang baru juga tidak mengakomodir syarat keterwakilan perempuan(affirmative action) sebagaimana tertuang dalam UU MD3 sebelumnya sehingga tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-XI/2013.
“Dengan demikian, menurut saya, UUD MD3 sejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya,” tambah Arief.
Dengan pertimbangan tersebut,Arief berpendapat seharusnya permohonan Pemohon mengenai pengujian formil maupun materiil UU tersebut dikabulkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal senada ditegaskan Maria Farida. Menurut Maria, UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil Pemilu. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politis semata.
“Oleh karena itu, menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya,” ujarnya.
Maria juga menilai pembentukan UU 17/2014 bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, dan asas keterbukaan. Selain itu, pembentukan UU 17/2014 bertentangan dengan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 karena pembentukan UU tersebut tidak melibatkan DPD dalam pembahasannya, dan juga bertentangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XI/2013 yang berkaitan dengan hak-hak politik perempuan (affirmative action).
“Pembentukan UU tersebut pun berdampak terjadinya kerugian konstitusional dari anggota dan/atau lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur dalam UUD 1945 khususnya dalam pembentukan dan pemilihan Pimpinan lembaga dan alat kelengkapan dalam MPR, DPR, dan DPD oleh karena pembentukan UU tersebut dilaksanakan setelah proses kontestasi (pemilihan umum) selesai,” kata Maria.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Maria berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU 17/2014, seharusnya dikabulkan dan Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bambang Satriaji







