Idul Adha 1436 H: Robohnya Observatorium Kita (3)
Oleh Ma’rufin Sudibyo Plakat memorial Observatorium Istanbul yang ditempel di bangunan pada salah satu sudut perempatan jalan Kallavi dan Istiklal di Istanbul (Turki). Inilah satu-satunya penanda modern bahwa di sini dulu pernah berdiri o...

Oleh Ma’rufin Sudibyo
Inilah perbedaan tersebut. Khasanah perbedaan ini memang telah klasik, telah terjadi sejak berpuluh tahun silam di Indonesia. Pokok permasalahannya juga berkutat pada hal yang itu-itu saja. Dalam kala termutakhir masalah ini menjadi lebih menarik lagi saat diperbandingkan dengan dua cerita yang berasal dua masa berbeda dari satu tempat yang sama. Yakni Istanbul.
Observatorium
Istanbul adalah kota kuna yang berdiri di tubir dua benua. Sisi barat kota ini tumbuh di atas tanah benua Eropa sementara sisi timurnya mengembang di tepian benua Asia. Selat Bosporus yang tepat berada di tengah-tengah kota ini merupakan jalan air alamiah penghubung Laut Hitam dan Laut Marmara yang juga batas alamiah Asia dan Eropa. Istanbul juga sekaligus kota yang dianggap sebagai ibukota negara besar Islam terakhir: imperium Turki Utsmani.
Jejak kebesaran tersebut masih terserak dimana-mana. Salah satunya di sisi barat kota, tempat berdirinya istana Topkapi sebagai salah satu istana utama Turki Utsmani pada masa kejayaannya. Dari istana ini beringsutlah ke utara menyusuri jalan raya hingga tiba di distrik Kasimpassa. Akan dijumpai sebuah stadion besar yang baru saja direnovasi dan kini menyandang nama presiden Turki petahana (incumbent), yakni Stadion Recep Tayyip Erdogan. Inilah markas klub Kasimpassa, klub sepakbola lokal yang bila saja dikembangkan dengan baik bukan tak mungkin dapat menjadi pesaing kuat klub raksasa sekotanya: Galatasaray.
Dari tempat parkir nan luas di sebelah timur stadion Erdogan, berjalanlah ke timur menyusuri jalan Kallavi nan sempit. Teruslah melangkah hingga anda sampai di persimpangannya dengan jalan Istiklal yang besar. Berhentilah di perempatan ini. Layangkan pandangan ke sekelilingnya secara seksama. Di tengah-tengah hutan beton yang mencirikan kota besar peradaban manusia masakini, anda akan menemukan sebuah plakat unik menempel di salah satu dinding gedung di pinggir jalan. Berbentuk persegi, namun didalamnya terdapat bentuk geometris mirip busur derajat yang sering kita gunakan kala masih duduk di bangku sekolah. Di tengah-tengahnya terdapat tali busur dengan pemberat di ujungnya. Plakat tersebut belum lama dipasang. Adalah Turkish Astronomical Society bekerja sama dengan Komisi Nasional UNESCO untuk Turki dan Universitas Koc yang punya gawe memasangnya, dalam rangka Tahun Astronomi Internasional 2009. Plakat inilah satu-satunya jejak modern yang menandakan bahwa di tempat ini dulu pernah berdiri sebuah Observatorium Istanbul.
Pada masanya, Observatorium Istanbul adalah observatorium terbesar sedunia. Itu adalah masa kala dunia sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan penjelajahan samudera. Kapal-kapal layar besar mengarung samudera kemana-mana, menuju ke bagian dunia yang (dianggap) belum dikenal. Pembangunan dan pengoperasian armada kapal-kapal layar besar masa itu dapat disetarakan dengan peluncuran pesawat antariksa ulang-alik masa kini. Maka tak berlebihan bila magnitud Observatorium Istanbul pun bisa disetarakan dengan teleskop landasbumi (teleskop antariksa) Hubble saat ini. Inilah salah satu bangunan monumental di masa keemasan dunia Islam.
Gagasan pembangunan Observatorium Istanbul ditelurkan Taqi al-Din Muhammad ibn Ma’ruf, astronom yang dekat dengan sang putra mahkota Syahzada Murad. Kala putra mahkota naik tahta sebagai Sultan Murad III pada 1574 TU, Taqi al-Din pun ngompori sahabatnya itu agar berkenan membangun observatorium besar. Taqi al-Din sering membandingkan Turki Utsmani dengan Timurid, negeri kecil di Asia tengah yang kerap dikoyak peperangan. Namun begitu, Timurid pernah memiliki sebuah observatorium besar, lengkap dengan madrasahnya. Yakni Observatorium Samarkand atau lebih populer dengan nama Observatorium UlughBeg. Observatorium Samarkand beroperasi hingga hampir seabad lamanya. Sebaliknya , Turki Utsmani yang jauh lebih besar dan lebih gilang gemilang tidaklah demikian.
Gagasan Taqi al-Din memikat sultan. Dan mulailah megaproyek pembangunan Observatorium Istanbul bergulir. Butuh waktu tiga tahun sebelum seluruh bangunan observatorium benar-benar berhasil diselesaikan. Termasuk perpustakaan dan perumahan untuk para staf. Dengan fasilitas ini, Taqi al-Din tak sekedar ingin melampaui pencapaian Observatorium Samarkand, namun juga berambisi menciptakan tabel astronomis terbaru dan terlengkap bagi Matahari, Bulan serta planet-planet.
Untuk itu, Observatorium Istanbul dilengkapi dengan sejumlah radar (instrumen) tercanggih untuk ukuran zamannya. Seperti bola armillari raksasa, jam astronomis berketelitian tinggi, rubu’ (sextant) raksasa dan sebagainya. Di sisi lain, kompleks Observatorium Istanbul segera menyedot perhatian besar di daratan Eropa. Astronom Tycho Brahe (Denmark) demikian terpesona dengannya. Sehingga kala Brahe memutuskan membangun kompleks Observatorium Uraniborg (atas dukungan raja Denmark) hanya berselang beberapa tahun kemudian, sebagian desain dan radasnya mengacu Observatorium Istanbul.