Anggaran Kota, untuk Siapa?
Oleh: Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, ASEAN Eng. Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Saya tentu saja mengapresiasi rencana pemerintah pusat untuk memberikan tambahan alokasi transfer keuangan daerah...

Oleh: Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, ASEAN Eng.
Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan
Saya tentu saja mengapresiasi rencana pemerintah pusat untuk memberikan tambahan alokasi transfer keuangan daerah (TKD) pada tahun 2026 nanti. Meskipun beberapa pihak mengatakan bahwa tambahan transfer ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah dan kemungkinan hanya habis untuk membiayai gaji operasinal pegawai yang ada, namun setidaknya ini merupakan sebuah tambahan pembiayaan daerah yang cukup signifikan kalau bisa dimanfaatkan dengan baik.
Di sisi lain kita juga menyimak adanya berita yang memuat soal kritik dari penggiat seni yang menelaah anggaran pembangunan daerah di sebuah kota yang mana di sana dia menemukan bahwa alokasi dana pembangunan daerah ternyata tidak jauh lebih besar daripada alokasi anggaran untuk hal yang tidak produktif dan tidak langsung dirasakan oleh masyarakat.
Jadi nampaknya di pemerintah daerah terutama pemerintah kota, yang beberapa hari yang lalu bertemu dengan kementerian dalam negeri (Kemendagri) perlu menyisir kembali alokasi anggaran yang mereka anggarkan setiap tahun. Saya sering menyampaikan betapa pentingnya bagi walikota untuk duduk di meja kerjanya dan rapat bersama dengan jajarannya untuk menelaah rupiah demi rupiah pengalokasian anggaran di setiap kegiatan yang ada di masing-masing dinas.
Kalau yang sekarang, kita sering lihat adalah pengalokasian anggaran dalam jumlah tertentu berdasarkan dinas yang mendapatkan prioritas penganggaran dari masing masing kepala daerah yang menganggap bahwa program yang akan mereka canangkan pada masa kepemimpinan mereka akan didominasi pelaksananya oleh dinas tertentu. Lalu dibiarkan setiap dinas untuk membagi bagi alokasi anggaran sesuai dengan apa yang ada di dinas mereka secara “bebas”.
Jika dinas tersebut memang memiliki kemampuan untuk membuat anggaran mana yang dirasakan langsung oleh masyarakat manfaatnya dan mana yang tidak, tentu hal ini akan sangat baik karena ada distribusi penugasan dari yang tadinya dipikirkan oleh walikota menjadi dipikirkan oleh setiap kepala dinas maupun kepala bidang yang ada di setiap dinas.
Saya ingin mengatakan bahwa pada kenyataannya di lapangan banyak dinas yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk menelaah mana yang tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan mana yang tidak. Seperti yang dicontohkan oleh peniat seni sebelumnya bahwa ternyata ada pengalokasian anggaran untuk suvenir puluhan miliar tetapi kegiatan bantuan sosial misalnya tidak sebesar itu. Apalagi kalau dibandingkan dengan pengalokasian anggaran untuk perbaikan jalan, misalnya, ternyata nilainya jauh lebih kecil daripada yang dialokasikan ke hal lain.
Selain kepala daerah atau walikota menelaah apa yang di rencanakan oleh dinasnya, juga ada tugas pokok dan fungsi dari anggota dewan yang ada di setiap daerah untuk mendalami pengalokasian anggaran agar tepat sasaran dan sesuai kebutuhan masyarakat yang ada di daerah pemilihannya.
Jadi, sebenarnya sudah cukup berlapis upaya sistem untuk memastikan anggaran yang dialokasikan tepat sasaran dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Namun kenyataannya tidak seperti itu, masih banyak ditemukan kepala daerah bersama dengan jajarannya nampak kesulitan untuk menterjemahkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan begitu juga dengan anggota parlemen yang agak kesulitan untuk bisa merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakatnya dan menjawabnya melalui kegiatan yang dianggarkan dalam jumlah tertentu di dalam anggaran pembangunan dan belanja daerah.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Dan ini menandakan bahwa seluruh pihak terutama akademisi dan intelektual juga penggiat aktivis masyarakat harus lebih aktif lagi dalam mentransformasikan gagasan intelektual untuk mengawasi apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain ia juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kader baru agar bisa bersikap kritis pada kebijakan pemerintah. Namun, sikap kritisnya bukan dalam artian negatif, mereka harus bisa merespon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan kacamata kritis sesuai dengan fenomena yang ada di masyarakat dan juga secara teoretis itu seperti apa, sehingga kemudian bisa menjadi kegiatan yang dianggarkan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keuangan yang ada. Dia menjadi adil karena sudah menampung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak ada kegiatan yang cenderung terlihat menghambur-hamburkan anggaran.
Jadi saya merespons isu ini dengan tiga pendekatan seperti yang tadi saya sudah sampaikan. Pertama, saya berharap agar kepala daerah dalam hal ini walikota untuk dapat duduk untuk rapat bersama dengan jajarannya, menyisir kegiatan demi kegiatan dan rupiah demi rupiah yang dialokasikan di setiap kegiatan tersebut.
Ia harus bisa secara mendalam memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya dan menterjemahkannya dengan baik dalam anggaran pembangunan daerah. Sehingga tidak ada lagi kesan penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Padahal, ada begitu banyak kasus di lapangan di mana masyarakat mengalami persoalan banjir, kemacetan lalu lintas, kondisi sungai yang memburuk, kondisi udara yang juga tidak sehat, keterbatasan ruang terbuka hijau, banyaknya pedagang kaki lima yang mengganggu kelancaran lalu lintas, banyaknya masyarakat yang putus sekolah, dan seterusnya adalah sesuatu yang harus dijawab dari anggaran yang dimiliki oleh daerah. Tentu dibalik itu ada juga alokasi anggaran untuk mendorong peningkatan investasi yang dilakukan oleh swasta atau investor dari berbagai bidang di daerah mereka.
Kedua, perlu adanya kontrol dari parlemen secara lebih mendalam dan detail. Kita memahami bahwa mungkin tidak semua anggota parlemen memiliki kemampuan, tetapi mereka juga ada alokasi anggaran untuk menghadirkan tenaga ahli yang bisa membantu mereka menelaah anggaran yang ada. Kita memiliki begitu banyak ahli dan juga profesional yang bisa membantu anggota parlemen guna menelaah anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah. Dari sana nanti akan ada negosiasi untuk merespon apa yang dibutuhkan masyarakat dan menerjemahkannya dengan baik melalui pengalokasian anggaran yang berkeadilan dan profesional.
Ketiga, media massa dan juga kalangan terpelajar yang ada di setiap daerah hendaknya terus menjaga sikap kritisnya. Selain menuliskannya melalui media massa, bisa juga menuliskannya di media sosial mereka, untuk menyuarakan sikap kritis agar apa yang dilakukan oleh pemerintah dan parlemen terpantau dan juga dibicarakan di ruang publik. Dan akhirnya juga, apa yang dibicarakan menjadi lebih bermutu karena berkaitan kepentingan publik yang lebih besar, bukan kepentingan kelompok atau pihak tertentu saja.
Apa yang dibangun di negara kita ini, terutama yang di nampakkan pembangunannya di setiap kota di seluruh Indonesia, yang pada hari ini jumlahnya hampir 100 kota dan tergabung di dalam APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia), haruslah bisa dirasakan oleh masyarakat. Dan juga dapat membangun marwah Indonesia secara keseluruhan. Kita ingin kota yang ada di Indonesia mencerminkan situasi kehidupan yang aman, nyaman, modern tetapi juga berkelanjutan. Dan ini bisa menjadi percontohan bagi kota di seluruh dunia. Tapi sayangnya banyak walikota yang rendah diri. Dan ketika dia tidak memiliki kemampuan, dia juga tidak mampu untuk mengajak berbagai pihak untuk memberikan hal yang terbaik bagi kotanya.
Kita semua harus menghindari kutukan lahirnya kepemimpinan daerah akibat sistem politik yang tidak memastikan hadirnya pemimpin dan parlemen yang memiliki kapasitas dan kapabilitas pengelolaan kota yang mumpuni.***