Hidup di Dua Dunia

Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Pada waktu Hari Raya Iduladha yang lalu kebetulan bersamaan dengan seorang sohib yang menunggu keluarnya jamaah saat khotbah usai. Beliau mengeluh karena melihat bagaimana banyaknya jamaah yan...

Hidup di Dua Dunia

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila

Pada waktu Hari Raya Iduladha yang lalu kebetulan bersamaan dengan seorang sohib yang menunggu keluarnya jamaah saat khotbah usai. Beliau mengeluh karena melihat bagaimana banyaknya jamaah yang tidak memperhatikan isi khotbah, yang itu adalah salah satu syarat sahnya sholat. Mereka sibuk dengan alat media sosial masing masing; kalau boleh dikatakan dengan kalimat sarkastis, badan ada di mana, pikiran jalan kemana; seolah mereka hidup di dua dunia; yaitu dunia realita dan dunia maya.

Kondisi ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Plato pada masanya, bahwa manusia itu sejatinya hidup di dunia ide, bukan di dunia realita, dunia ini adalah bayang bayang dari idea. Tampaknya apa yang beliau katakan saat ini terbukti adanya hanya dalam versi yang sedikit berbeda. Bisa dibayangkan duduk bersama satu keluarga di ruang tengah, televisi bicara sendiri, semua anggota keluarga hening bukan menyimak TV tetapi sibuk dengan dunia mayanya masing masing. Peristiwa seperti ini pernah diunggah dan dikomentari oleh Meldi Sartono seorang pegiat media sosial dari Palembang pada satu kanalnya, bahwa bagaimana mirisnya akibat manusia hidup pada dua dunia, dengan menampilkan gambar keluarga yang secara fisik ada di tempat yang sama, tetapi masing masing ada pada “dunia” yang berbeda.

Sisi gelap lain yang tidak kalah mirisnya adalah saat Ustaz  Anwar Zahid berdakwah di atas panggung dengan sangat berapi api mensyiarkan agama yang diyakininya; ternyata hampir separoh peserta sibuk dengan media sosialnya masing masing; tidak memeperhatikan apa yang disyiarkan. Pada saat kesempatan tertentu tokoh agama ini mengeluh saat diundang untuk suatu acara syiar; beliau merasa berdiri di dua pilihan; jika tidak hadir maka siapa yang akan mendakwahkan agama Tuhan, sementara jika hadir harus berhadapan dengan kondisi pahit melihat kelakuan yang hadir.

Rangkaian di atas akan menjadi panjang lagi jika ditarik contoh yang berserak di tengah masyarakat. Namun dapat kita saripatikan intinya ialah manusia yang hidup di jaman sekarang memiliki dua dunia yang sekaligus dapat dijalani bersama, dengan sistem nilai yang berbeda; yaitu dunia maya dan dunia nyata. Bisa saja terjadi apa yang ada di dunia nyata berbanding terbalik keadaannya dengan yang ada di dunia maya; dan itu bukan merupakan penipuan akan tetapi karena kebodohan akibat dari ketidakjelian melihat suatu fenomena.

Tampaknya ilmu Psikologi, terutama Psikologi Massa, mendapat tantangan baru untuk menemukenali gejala sosial seperti ini. Karena fenomena ini merupakan dampak lanjut dari keberadaan teknologi, serta peristiwa pandemic yang dahsyat menerpa dunia saat ini. Teknologi sebagai alat, tergantung kepada yang menggunakan alat itu; dengan kata lain teknologi bebas nilai, namun manakala digunakan untuk apa dan untuk mencapai tujuan apa, pada posisi ini teknologi menjadi tidak bebas nilai lagi. Menjadi rumit peristiwanya antara nyata dan maya berlangsung secara bersama ditempat yang sama pada waktu yang sama.

Tidaklah salah jika dikatakan saat ini sedang berlangsung Revolusi Budaya tahap lanjut yang mengubah tatanan hidup manusia dalam kehidupannya; dan revolusi ini memiliki dampak kejut yang luarbiasa dahsyatnya, karena membawa dampak multidimensional pada semua lini tatakehidupan manusia.

Sebagai contoh kecil kausa kata baru bermunculan yang terkadang antara makna dengan simbol, baik fonem maupun leksikalnya berbeda dengan aturan baku yang ada selama ini dijadikan acuan, dan itu menjadi diksi pada dunia maya. Tentu saja bagi sedikit generasi tua yang berusia tujuhp uluh tahun ke atas, hal semacam ini membuat gegar budaya. Namun bagi mereka yang ada pada rentang usia empat puluh tahun sampai enam puluh tahun dipaksa oleh keadaan untuk beradaptasi cepat, agar selamat dari lindasan roda perubahan yang kejam itu; terutama bagi mereka yang abai atau lambat belajar akan menjadi residu sosial. Sementara generasi di bawah itu, mereka sekarang sedang mencari bentuk dan pola, karena tidak ada contoh generasi diatasnya yang dapat mereka desiminasi sebagai patron. Kalaupun ada, hanya hal-hal yang bersifat sumir belaka

Dampak Revolusi Budaya ini sangat terasa pada dunia pendidikan. Sebagai contoh, pada masa sebelum pandemi Covid-19, banyak guru/dosen yang mentabukan media sosial masuk ke dalam kelas. Namun pada saat sekarang guru/dosen harus mampu berkreasi menciptakan metode pembelajaran baru dengan melibatkan media sosial sebagai media pembelajaran di dalam kelas; sehingga terjadi proses pembelajaran paripurna, yaitu dengan memanfaatkan semua sumber belajar yang ada, kemudian mengorganisirnya, selanjutnya dihubungkan kepada peserta didik, sehingga terjadi proses pembelajaran. Model seperti ini pernah digagas oleh para pendahulu yang disebut dengan “Pembelajaran Proyek” (pengagas pertama sistem ini adalah William Heard Kilpatrick, beliau seorang pendidik Amerika dan murid, kolega dan pengganti dari John Dewey). Keterlibatan semua pihak dan kedisiplinan penyelenggara pendidikan harus ditingkatkan, sehingga semua berjalan sesuai skenario yang telah disiapkan.

Hidup di dua dunia akan membawakan keberkahan, jika kita mampu menemukenali hambatan, kemudian mengolahnya menjadi tantangan untuk dapat dicarikan jalan keluarnya, sehingga mengasilkan enargi positif untuk menggerakan laju perubahan sosial yang kemudian bermuara para perubahan budaya. Namun akan menjadi pendorong ke arah kegagalan manakala kita hanya meratapinya.

Selamat ngopi pagi.