‘Gile Sejagat’
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi itu cuaca tidak bersahabat. Hujan dan udara dingin sekali. Namun, karena kewajiban maka kantor tetap menjadi markas besar intelektual bagi penulis. Sejurus kemudian pintu dik...

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pagi itu cuaca tidak bersahabat. Hujan dan udara dingin sekali. Namun, karena kewajiban maka kantor tetap menjadi markas besar intelektual bagi penulis. Sejurus kemudian pintu diketuk keras. Hal itu menjadi ciri khas dari seorang sahabat yang berasal dari kaki Gunung Dempo Pagaralam Sumatera Selatan, jika akan masuk ke ruangan penulis.
Pembicaraan dimulai dari hal hal ringan dari keseharian. Berikutnya mulai menapaki dunia religius yang fundamental. Di sini mulai ditegakkan parameter imajiner dengan satuan normatif. Maka, jadilah diskusi yang tidak berkesudahan. Hal itu karena hanya sampai pada tataran imajinatif substantif. Bisa dibayangkan jika diskusi membicarakan adanya golongan yang menghakimi golongan lain dengan ukuran inklusif; bukan generelatif; munculah saat itu keaslian beliau dengan bahasa ibu “gile sejagat’ atau gila sedunia. Yang disalahkan gila, yang menyalahkan lebih gila. Kesimpulannya: semua gila.
Menjelang tengah hari diskusi berakhir. Kontemplasi berlanjut dengan berbahan hasil diskusi tadi. Ternyata ada benang merah yang makin jelas penampakannya jika dikaitkan dengan fenomena akhir akhir ini di masyarakat. Keseharian kita melihat kelompok tertentu mengklaim kebenaran dengan merasa paling benar, sementara kelompok di luar mereka salah dan mereka beri label dengan stigma agama.
Pembelaan kelompok yang disalahkan tidak kalah seru, mereka balik menyerang dengan stigma popular; maka terjadilah “perang cacian dan upatan” melalui dunia maya. Padahal sebenarnya mereka melakukan hal yang sama tetapi dari sudut yang berbeda. Kesimpulan sementara mereka sebenarnya sedang gila semua, karena populasi keduanya cukup besar, tidak salah kalau label “gila sejagad” adalah diksi yang tepat untuk mewakili peristiwa tersebut.
Fenomena lain yang sekarang sedang menjadi titik focus perhatian masyarakat, ada institusi yang diberi tugas oleh negara untuk melakukan tindakan bagi mereka yang melakukan pelanggaran norma, baik norma masyarakat maupun norma bernegara. Namun begitu persoalannya menyangkut salah satu anggota mereka yang melakukan pelanggaran norma, berat dengan menghilangkan nyawa anggotanya oleh anggotanya; ternyata mereka berkelompok untuk saling melindungi, dan berbuat apa saja untuk bisa melindungi teman sejawat mereka. Kelompok ini ternyata terkena sindrom “gila sejagat” juga; karena kita yang melihatnya dibuat geram, dibodohi terang terangan, akibat lanjut kitapun dibuat gila menyimak kelakuan mereka; kitapun kena sindom “gila sejagat”. Untung endingnya oleh pimpinan tertinggi institusi, tampaknya kita akan dibuat senyum sejagat.
Menjadi lebih gila lagi, kegilaan itu dipertontonkan kepada publik, bahkan cenderung membangun opini akan kegilaan mereka. Sehingga skenario itu dibuat bermata dua. Mata pertama jika publik terus-menerus memperhatikan atau menonton, pada titik tertentu akan muak dan tidak menonton lagi, maka selamatlah mereka dari perhatian publik. Mata kedua, mereka menggiring opini dengan mengulur-ulur dan membelit-belitkan masalah. Pada akhirnya publik lelah dan berkeputusan untuk tidak melanjutkan menontonnya. Maka dua-duanya dibuat berakhir sama, yaitu kita dibuat gila; karena jumlah yang mewakili kata “kita” itu banyak, sempurnalah skenario tadi menjadikan kita “gila sejagat”.
Ternyata kalau kita mau jujur banyak sekali fenomena peristiwa di ngeri ini yang membuat kita pada posisi seperti di atas; baik peristiwa daerah, apalagi nasional. Bisa kita bayangkan lembaga amal kemanusiaan, yang selama ini kita percaya kehandalannya, ternyata kita pun dibuat berdecak sambil bergumam“gila”. Teganya dana kemanusiaan untuk membayar gaji pengurus besarnya sama, bahkan lebih besar dari gaji jabatan tertinggi di negeri ini. Begitu kelakuan mereka terungkap, mulailah politik identitas dimainkan agar publik membela mereka.
Belum lagi peristiwa peristiwa besar lain yang sengaja diulur waktunya untuk keluar dari lingkaran perhatian publik, sehingga terkesan disengaja untuk “masuk angin” di jalan. Lebih seru lagi ternyata ada biaya tersendiri untuk menjadikan peristiwa menjadi masuk angin tadi. Ternyata bisa terjadi di negeri ini, penjahat di jahati; oleh karena itu sesama penjahat tidak boleh saling menjahati, itu tampaknya adagium itu masih berlaku untuk beberapa peristiwa di negeri ini.
Mari kita mengambil hikmah dari semua ini. Jangan bermimpi kejahatan hilang di muka bumi ini. Sebab, kalau kejahatan itu hilang, apa yang menjadi pasangan kebaikan? Tinggal bagaimana kita secara bijak melihat peristiwa. Bisa jadi kesulitan atau malapetaka yang ditimpakan kepada kita itu sebenarnya terkandung maksud dari Tuhan agar kita menjadi saluran pembagi rezeki atau kebaikan kepada pihak lain.
Selamat ngopi pagi.