Gerandong Ilmu Ikhlas
Dahta Gautama Gerandong. Demikian panggilannya. Saya mengenal dia, baru satu bulan ini. Seorang teman mempertemukan kepada saya, di pangkalan ojeg di sudut Kota Bandar Lampung. Teman saya bilang, dengan mengenal orang itu, pasti akan melahirkan...

satu bulan ini. Seorang teman mempertemukan kepada saya, di pangkalan ojeg di
sudut Kota Bandar Lampung. Teman saya bilang, dengan mengenal orang itu, pasti
akan melahirkan daya cipta untuk cerpen atau puisi yang saya tulis. Tentu
sebagai sastrawan, saya memerlukan referensi dan literatur yang luas, tidak
hanya dari buku-buku, namun juga dari orang-orang “unik” yang saya kenal lebih
dekat.
sopir pribadi. Benar saja, ternyata pengakuan-pengakuan yang diakui olehnya
telah menginsfirasi saya. Kini saya lebih mengerti soal ketulusan dari rasa
sakit dan lapar yang melahirkan kesabaran. Gerandong mengaku, selama tiga hari
pernah tak ketemu nasi. Untuk mempertahankan hidupnya, ia minum dari pipa kran
PDAM yang bocor dan tak lebih hanya 7 potong gorengan yang ia makan, sebagai
pengganjal perut selama tiga hari itu.
dekat dengan kriminalitas dan maksiat. “Narkoba, tukang copet, tipu dan
pelacur. Yang paling gila, banyak perempuan bersuami yang suka selingkuh,” kata
Gerandong terbata.
lebih tertarik dengan hidupnya yang serba tak teratur itu. Tidur di pangkalan
ojek yang terbuka sepanjang malam (karena tak memiliki tempat tinggal), ia juga
mengklaim baru bisa sembahyang setahun ini. Katanya, ia ngupah anak-anak sekolah dasar, untuk ngajari dia sholat.
dipukul, saya diem aja, asal gak dipukul sampe mati. Kalo dipukuli saya hanya bisa nangis, karena sakit,
sambil inget almarhum ayah dan ibu,”
kata Gerandong tanpa nada sedih.
dua puluh ribu rupiah diminta paksa oleh para preman. Jika tak sanggup
mempertahankan uang itu, ia menahan lapar hingga pagi. Padahal ia sudah melalui
lelah, malam habis di halaman Ruko, sebagai juru parkir tak resmi.
kegembiraan yang luar biasa paripurna. Meski lapar dan kadang lebam dipukuli.
Meski baru bisa sembahyang, namun sangat memahami hakikat ikhlas, yang hingga
kini belum pernah saya miliki.
sendiri. Apakah kita masih bisa tersenyum, ketika saban ba’da Magrib, kita
mesti gelap-gelapan sampai tengah
malam karena PLN memadamkan energinya.
sandal kulit kesayangan hilang di masjid atau masih mampu bertegur sapa kepada
tetangga yang pernah bilang kita sebagai “orang aneh” karena jarang ladeni dia ngobrol. Bisakah kita melupakan sikap
Polantas nakal, yang maksa nilang
karena SIM tertinggal di rumah dan pajak mati, dengan suaranya yang menukik dan
menunjuk? Suara klakson di jalan padat merayap? Atau perlakuan jahat saudara
kandung, yang ingin kita mampus, karena sakit hati atas apa yang kita raih?
menyakitkan. Saya percaya ucapan Gerandong tentang lapar. Menurutnya, lapar
bisa ditahan dengan sedikit sabar.
akibat. Mengapa kita tidak coba hikmati semua “rasa” sebagai hadiah yang paling
asyik, pemberian Tuhan. ***