Genderuwo

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Genderuwo (ada yang menulis gondoruwo atau gendruwo) dalam khazanah pemahaman orang Jawa dimaknai sebagai mitos tentang sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia...

Genderuwo

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Genderuwo (ada yang menulis gondoruwo atau gendruwo) dalam khazanah pemahaman orang Jawa dimaknai sebagai mitos tentang sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai genderuwo sebagai hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu tebal.

Genderowo juga pernah dijadikan judul film drama horor dari Indonesia yang diproduksi pada tahun 1981 dengan disutradarai oleh Ratno Timoer dan dibintangi oleh Ratno Timoer dan Farida Pasha. Film ini mendapatkan nominasi untuk pemeran pembantu wanita terbaik dalam Festival Film Indonesia 1981.

Di daerah Lumajang Jawa Timur nama genderowo dilabelkan pada singkong. Lumajangsatu.com menyebutkan bahwa potensi pertanian Lumajang sangat besar, salah satunya sebagai penghasil singkong. Kawasan Lumajang bagian selatan dengan tanah berpasir sangat bagus ditanami singkong genderuwo (kaspro) yang sangat besar. Ciri singkong ini berbuah lebat dan besar besar. Singkong genderuwo tidak bisa dikonsumsi secara langsung karena kandungan etanolnya sangat tinggi. Oleh karena itu singkong ini jarang dikonsumsi langsung, akan tetapi langsung dijual ke pabrik.

Akhir akhir ini genderuwo sedang menjadi topik hangat di seantero Indonesia khususnya Kalimantan, karena diucapkan oleh tokoh yang dinilai ucapan itu bersifat rasis. Tentu saja jika genderuwo itu paham akan hukum kegenderuwoan, maka dia akan membawa ke pengadilan bangsanya guna menuntut keadilan, disebabkan mahluk lain yang bernama manusia menggunakan namanya untuk kepentingan pribadi. Ini sekadar “kelakar Plembang” agar pembaca tidak terlalu serius.

Terlepas dari semua ingar bingar gendoruwo itu ada hal esensial yang luput dari perhatian kita, yaitu penggunaan diksi untuk kepentingan lain di luar konteksnya; hal ini dari dahulu akan menimbulkan akibat samping yang tidak jarang tidak terprediksi. Oleh karena itu biarkanlah mereka yang mencari perkara akan mendapatkan perkara itu sesuai harapannya. Kita akan membahas justru dari sudut pandang laindalam perkara lain.

Genderuwo dalam kontek realita silakan kita percaya atau tidak, karena itu mahluk ciptaan Tuhan untuk melengkapi kehidupan ini, hanya kemungkinan beda tempat dan alamnya dan mungkin pelabelan namanya. Sedangkan dalam konteks abstrak sebenarnya sifat jelek, – kalau itu boleh dilabelkan pada Gendoruwo,- adalah sifat yang berpeluang melekat pada manusia, siapapun dia; tidak melihat tingkat pendidikan, status sosial, panjangnya gelar, dan lain sebagainya sebagai pemisah sosial.

Oleh karena itu, pelabelan ini sebenarnya disandang oleh mahluk yang bernama manusia yang berpeluang menggondoruwokan dirinya untuk menggenderuwokan orang lain, atau menggenderuwokan orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu.

Kemarahan atau ketidaksukaan kepada sesuatu, lalu mengibaratkannya kepada sesuatu yang lain, itu hanya bisa dilakukan oleh manusia di atas cerdas. Dalam dialek Palembang keseharian lebih disebut “Calak” untuk domain di samping pintar juga pandai mengatur strategi. Oleh karena itu, dialek Palembang meneruskannya “Wong calak cuman pacak dikalah ke Taun” terjemahan bebasnya orang yang cerdasnya sudah mencapai calak, hanya bisa dikalahkan oleh Taun. Taun dalam konsep ini dimaknai sebagai Raja Setan.

Menyimak semua itu ternyata semua manusia berpotensi menjadi genderuwo; terlepas apakah untuk dirinya sendiri atau orang lain. Genderuwo untuk dirinya sendiri, tempatnya bersemayan di hati dan pikiran individu. Karakteristiknya adalah “susah melihat orang senang, senang melihat orang susah”. Penyakit hati dan pikiran seperti ini sangat sulit untuk sembuh, bisa bisa malah di bawa mati. Hanya karunia Tuhan yang mampu mengubah sifat dasar ini untuk menjadi orang saleh. Karena hanya Tuhan yang memiliki kewenangan mutlak untuk membolakbalikkan hati dan pikiran manusia.

Tampak luar memang berpenampilan bagus, tetapi niatan di dalam pikiran, bersemayam Genderuwo yang selalu merasa puas jika melihat orang lain sengsara dan menderita. Apalagi itu jelas jika semua terjadi karenanya, maka ada kebanggaan diri bisa membuat orang lain menderita sepanjang masa.

Pertanyaannya apakah mahluk seperti itu ada di dunia ini? Justru keberadaannya itu meneguhkan firman-Nya, bahwa di samping manusia, juga diciptakan mahluk lain, termasuk setan dan Iblis, sebagai marganya genderuwo. Persoalannya adalah jika terjadi pergantian peran, dan peran itu merusak sesamanya. Manusia berperan sebagai genderuwo bagi manusia lain, atau genderuwo berperan sebagai manusia bagi genderuwo lainnya.

Ternyata menjaga lisan dan ujung jari itu tidak semudah memagar kebun berhektare-hektare. Dampak ketidakmampuan diri menjaganya; bisa membuat luka hati tak terperi bagi orang lain. Bisa jadi kita yang berucap sudah lupa kapan dan dimana, sementara yang mendengar membawa luka sampai akhir hayat. Bisa jadi kita yakin tidak akan sampai apa yang terucap, ternyata angin menderu dengan cepat membawa berita sehingga membuat orang terpana. Orang bijak sudah mengingatkan jika kamu tidak paham, maka lebih baik kamu diam. Karena diammu adalah ketinggian budimu. Perlu kita sadari bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan, bukan sebuah pertandingan.

Selamat ngopi pagi.