Fatayat NU Desak Pemerintah Hentikan Pernikahan di Bawah Umur

TERASLAMPUNG.COM — Fatayat NU menolak segala bentuk kekerasan serta ekspolitasi terhadap anak, salah satunya dengan adanya perkawinan di bawah umur. Pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2017, Fatayat NU mendesak pemerintah  memperhatikan kehidupan a...

Fatayat NU Desak Pemerintah Hentikan Pernikahan di Bawah Umur

TERASLAMPUNG.COM — Fatayat NU menolak segala bentuk kekerasan serta ekspolitasi terhadap anak, salah satunya dengan adanya perkawinan di bawah umur. Pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2017, Fatayat NU mendesak pemerintah  memperhatikan kehidupan anak Indonesia.

“Kami mendesak pemerintah sebagai eksekutor untuk membuat langkah nyata dalam memutus perkawinan anak di bawah umur,” kata Ketua Umum Fatyat NU Anggia Ermarini dalam orasinya di sela-sela acara Car Free Day (CFD), Bundaran HI, Minggu (23/7).

Komisioner KPAI Terpilih, Mayati Solihah mengatakan  berdasarkan faktanya berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Mayati,  berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara.

“Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan bisa naik menjadi 3 juta orang pada 2030,” katanya.

Mayati mengungkapkan, Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

“Angka 16 tahun dalam usia perkawinan perempuan berpotensi melanggar/tidak sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU 23 Tahun 2002 dan hasil revisi UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” papar Mayati.

Mayati juga mengimbau kepada DPR, agar menjadi pioneer bagi perubahan UU Perkawinan terkait peningkatan batas usia perkawinan anak agar lebih banyak mendapat partisipasi dari publik.

“Kami mengajak masyarakat khususnyan DPR, untuk berupaya kembali merevitalisasi gerakan revisi UU perkawinan menuju pendewasaan usia perkawinan. Sebagai jalan tengah dalam kuatnya perbedaan pandangan tentang perkawinan usia anak,” tegasnya.