Dongeng Pagi Dokter Tjipto

Oleh Sunardian Wirodono Pada 17 Agustus 1964, CBZ berganti nama yang kemudian kelak terkenal dengan singkatan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Who is that? Dokter Tjipto Mangunkusumo salah seorang pejuang pergerakan Indonesia yang eksentrik, ba...

Dongeng Pagi Dokter Tjipto
Ilustrasi

Oleh Sunardian Wirodono

Pada 17 Agustus 1964, CBZ berganti nama yang kemudian kelak terkenal dengan singkatan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Who is that?

Dokter Tjipto Mangunkusumo salah seorang pejuang pergerakan Indonesia yang eksentrik, badung, dan liar. Tahun 1913 ia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat mendirikan partai paling progresif Indische Partij. Onze Tjip waktu itu wartawan harian De Express dan Majalah Tijdschrift milik Douwes Dekker.

Pak Tjip dari keluarga jelata. Ayahnya anak petani, namun karena kecerdasannya, mampu menjadi guru HIS. Tjip sebagai anak guru, mampu masuk sekolah STOVIA, sekolah elite jaman dulu di bidang kedokteran. Usia masuk Stovia berkisar 12-16 tahun, jadi mereka diajarkan dari yang paling dasar tentang pengobatan.

Salah satu sikap terkenal Tjip, ialah perlawanannya. Sedari awal sudah menentang sikap kepriyayian yang merupakan penghalang pencerdasan rakyat. Saat kepala sekolah memerintahkan setiap murid mengenakan pakaian adat, Tjip dengan sengaja hanya memakai pakaian dekil, kumal, pakaian anak Jawa jelata.

Tentu saja gurunya marah, tapi katanya kemudian, “Tjip, een begaafd leerling,…” Tjip adalah kebanggaan sekolah karena cerdas dan berbakat. Dan sejak itu, Tjip bebas mengenakan pakaian proletar.

Tjip dengan cepat menyelesaikan sekolah kedokteran. Dalam kongres Boedi Oetomo, Tjip menginginkan organisasi itu jadi tempat kesadaran rakyat Jawa dan juga seluruh Hindia Belanda. Sebagian peserta kongres menolaknya. Dan saat dr. Radjiman Wediodiningrat berpidato menolaknya, Tjip bangkit menggebrak meja, dan berteriak dalam Jawa Ngoko, “Aku keluar!”

Tjip kemudian buka praktek di Solo, dan langsung terkenal sebagai dokter rakyat. Keluar-masuk kampung naik sepeda. Mengobati rakyat kecil tanpa dibayar. Rakyat mengenalnya sebagai ‘wong pinter’, Tjip disangka dukun tapi dengan alat kedokteran macam stetoskop.

Sore hari Tjip senang jalan-jalan ke alun-alun. Kadang menggunakan bendinya, ia sengaja meledek aturan bendi tak boleh lewat depan keraton Surakarta. Dan ketika bendinya melintas, Sunan Pakubuwono X melihatnya, “Sapa sing numpak bendi iku?”

“Dokter Tjip, sinuwun,…” jawab abdi dalem.

Sang raja hanya mengumpat panjang pendek, namun tak bisa melarangnya.

Kegilaan dokter Tjip paling fenomenal, ialah ketika turun dalam wabah pes di Malang. Saat itu wabah pes sangat luar biasa. Wabah ini susah ditangani, karena sarana kesehatan dan alat kedokteran minim. Cara tradisional membakar orang dan rumah penghuni yang terkena pes.

Tjip datang ke Malang, karena tak satu pun dokter berani datang. Ia sendirian menantang maut. Penyakit ini dianggap ganas menular. Tjip bekerja tanpa masker.

Saat mendengar ada anak yang sakit parah, dan ibunya mati terbakar ketika rumahnya dibakar, Tjip langsung membongkar rumah dan mencegah aksi pembakaran. Ia menggendong anak itu tanpa rasa takut, dan dengan telaten mengobatinya.

Tjip berhasil. Anak yatim-piatu karena pes itu diangkat anak dan diberi nama Pesyati, yang kemudian akan balik merawat masa tua dokter Tjip yang tragis.

Atas keberaniannya, Tjip dihadiahi pemerintah Belanda bintang jasa tertinggi ‘Orde Van Oranje Nassau’. Awalnya Tjip menerima, tapi setelah tahu Pemerintah hanya ngomdo, Tjip menaruh bintang jasa itu di pantatnya. Ia undang wartawan memotretnya, dan fotonya menjadi headline menggemparkan, “Seorang Jawa berani taruh hadiah raja di pantatnya.”

Pemerintah Belanda di Batavia jelas marah. Namun tak berani ambil tindakan.