Dinilai tak Paham Soal Penyusunan UU Pilkada, Frans Agung: Justru Kemendagri tak Paham Mekanisme
Frans Agung Mula Putra Bandarlampung, Teraslampung.com– Kritik anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Frans Agung MP Natamenggala terkai tiga pasal ‘siluman’ dalam UU Pilkada mendapatkan reaks dari juru bicara Kementeria...
| Frans Agung Mula Putra |
Bandarlampung, Teraslampung.com– Kritik anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Frans Agung MP Natamenggala terkai tiga pasal ‘siluman’ dalam UU Pilkada mendapatkan reaks dari juru bicara Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmadji.
Menurut Dodi, Frans Agung tidak paham mekanisme tahap akhir pembuatan atau proses dibuatnya UU, setelah DPR dan pemerintah menemukan norma yang disepakati dalam paripurna DPR maupun setelah paripurna DPR, .
“Anggota DPR itu tidak pernah jadi anggota DPR atau baru jadi anggota DPR. Dia tidak paham tahap akhir setelah menemukan norma yang disepakati norma paripurna,” kata Dod, seperti dilansir sejumlah media nasional, belum lama ini.
Menurut Dodi, acuan yang menjadi dasar lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada adalah UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, terutama mengenai dimunculkannya dua pasal dalam UU Pilkada dan menghilangkan satu pasal adalah terdapat perubahan mekanisme pencalonan KDH dari sistem tidak paket menjadi sistem paket.
Dalam artian, dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 adalah hanya KDH yang dipilih langsung oleh masyarakat. Sementara dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 adalah KDH bersama wakilnya dipilih langsung oleh masyarakat atau sistem paket.
“Sehingga, terdapat penyempurnaan dalam UU Pilkada yang sudah ditandatangani oleh Panja Komisi II DPR dan pemerintah melalui Kemendagri dan Kemenkumham setelah paripurna yang kemudian diserahkan ke Presiden melalui Sekretaris Negara (Setneg) untuk tahap sinkronisasi,” kata dia.
Setelah itu ditandatangani oleh Presiden dan diserahkan ke Menkumham untuk diterbitkan nomor UU sebagai dokumen negara.
“Itu bukan pasal siluman. Itu hasil kesepakatan yang sudah ditandatangani oleh Panja Komisi II DPR dan pemerintah melalui tim ahli masing-masing pihak,” tegas Dodi.
Menanggapi reaksi itu, Frans Agung menegaskan justru Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) yang ngawur dan tidak paham mekanisme pembuatan sebuah undang-undang (UU). Akibatnya, kata Frans, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang sudah disahkan oleh 560 anggota DPR diubah seenaknya oleh segelintir orang.
Frans Agung pun meminta Dodi membaca Pasal 65 sampai Pasal 74 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Sangat jelas pembahasan hanya di tingkat panja, pansus, dan diakhiri di paripurna,” kata Frans melalui rilis, Rabu (29/4).
Frans Agung mengatakan, pemerintah hanya menjalankan fungsi administrasi mengesahkan UU tersebut. Dan fungsi pengesahan tidak boleh menambah dan/atau mengurangi materi muatan UU.
“Artinya, pemerintah secara tidak langsung mengakui perubahan tersebut. Dengan demikian, tuduhan dari pemerintah yang ngawur dan sama sekali tidak paham mekanisme,” katanya.
Dikatakan, tidak bisa kesepakatan segelintir orang membatalkan keputusan parip urna 560 anggota dewan.
“Asas hukum sangat jelas, keputusan hanya bisa dibatalkan oleh keputusan Paripurna, ya oleh paripurna,” katanya.
Sebagimana diberitakan, sebelumnya Frans menyebutkan pasal-pasal yang bermasalah tersebut: pertama, Pasal 42 Ayat 7 UU No 1 Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, “Pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain pendaftarannya ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, juga harus disertai surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat pusat.”
Pasal ini, kata Frans, hilang atau tidak ada dalam UU No 8 Tahun 2015.
Kedua, Pasal 87 Ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 berbunyi, “Jumlah surat suara di TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih tambahan dit?mbah dengan 2,5% dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.”
Pasal ini, kata Frans, tidak pernah dibahas dan disetujui dalam Sidang Paripurna DPR dan perubahan UU No 1 Tahun 2015.
“Tetapi anehnya, pasal ini justru muncul dalam UU No 8 Tahun 2015,” katanya.
Ketiga, Pasal 71 Ayat 2 UU No 1 Tahun 2015 mengatakan, “Pengisian jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.”
“Penjelasan pasal ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam perubahan UU No 1 Tahun 2015,” katanya.
Tetapi penjelasan Pasal 71 Ayat 2 UU No 8 Tahun 2015 yang berbunyi, “dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas” justru muncul di UU baru ini.
“Kami minta pemerintah mengklarifikasi hal ini,” kata politisi Partai Hanura dari Dapil Lampung I ini.
Rls
Berita Terkait: UU Pilkada 2015, Frans Agung Desak Pemerintah Jelaskan Tiga Pasal Siluman







