Datang Mencari Apa, Pulang Membawa Apa
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Beberapa hari lalu saya mendapatkan kehormatan dari seorang kolega lama untuk menjadi penguji eksternal calon doktor di salah satu fakultas tertua di salah satu universitas negeri di Lampung....

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kehormatan dari seorang kolega lama untuk menjadi penguji eksternal calon doktor di salah satu fakultas tertua di salah satu universitas negeri di Lampung. Saya memiliki semacam pengalaman spiritual dengan kolega satu ini karena gagasannya saat dia muda tentang satu daerah pariwisata pantai daerah ini diangkat menjadi penelitian ilmiah oleh mahasiswa bimbingannya. Banyak hal yang disoroti. Salah satu diantaranya adalah bagaimana rasa ketertambatan hati kepada ciptaan Sang Khalik, yaitu panorama alam dan kekayaan budaya di suatu daerah.
Para pengunjung, terutama wisatawan asing, datang ke suatu daerah selalu akan mencari yang unik. Pengalaman atas keunikan ini kemudian dibawa pulang sebagai kenangan. Kemudian dibagikan kepada handai taulan, teman, dan sahabat. Harapannya, apa yang dibagikan adalah pengalaman yang menyenangkan atau paling tidak kegembiraan yang dapat dibagikan. Bukan sebaliknya: suatu kenangan pahit untuk tidak diulangi oleh rekan lain.
Ujian itu berakhir dengan memberikan nilai kepada promovendus nilai predikat “pujian”. Upacara akademik itu berakhir. Namun, ada yang tersisa dalam kenangan. Ternyata datang dan perginya wisatawan itu adalah wujud lain dari kehadiran manusia di dunia ini. Ingat suatu adagium seorang sufi terkenal, Jalaludin Rumi, yang mengatakan bahwa jika manusia menyadari dia lahir di dunia ini diutus mencari, dan kemudian membawa pulang. Namun, harus disadari dari mana kita datang dan mau ke mana kita pulang.
Persoalan mencari kemudian membawa, serta dari mana mau ke mana, ternyata tidak mudah untuk dijawab. Sebab, sudut pandang yang berbeda dalam memulai dan engakhiri. Jika kerangka filsafat Rumi yang kita pakai, bahwa manusia itu hadir di muka bumi ini karena kasih sayang dan cintanya Tuhan, maka tugas utama manusia adalah mencintai Tuhan melebihi segalanya dan kelak kemudian untuk kembali kehadapan Tuhan. Kita diutus dari alam rahim karena Maha Rahim-Nya Tuhan. Kita harus kembali ke alam akhir atas Maha Rahman-Nya Tuhan kepada kita.
Ketakutan yang paling menakutkan bagi orang orang yang beriman adalah putusnya tali kasih sayang antara umat dan hamba-Nya. Sebab, hal itu berarti putusnya rahman dari Tuhan. Kehilangan yang paling menghilangkan adalah hilangnya rahim dari Tuhan untuk umat-Nya. Apa pun upaya manusia tanpa rahman dan rahim-Nya maka tidaklah akan kita jumpai keberhasilan, sekalipun itu hanya sebesar debu. Atas dasar itu Rumi berpendapat keberhasilan kehidupan ataupun kesempurnaan kematian itu adalah satunya frekuensi antara kasih sayang Tuhan dengan kasih sayang hamba-Nya.
Tugas penyamaan frekuensi itu hanya bisa didapat dari rida Tuhan. Manusia “didatangkan” ke dunia ini hanya untuk mencari ridaan-Nya. Karena itu, pulang kelak membawa semua amal perbuatan yang telah diperbuat; kemudian helai demihelai dipertangungjawabkan kepada Sang Khalik sebagai pemilik otoritas seluruh kehidupan. Banyak di antara kita gagal memaknai semua ini, sehingga terjebak dalam kubangan mencari dunia saja. Padahal, Tuhan memerintah manusia mencari dunia untuk bekal akhirat. Jadi, dunia adalah stasiun antara yang sekadar “numpang minum” kemudian melanjutkan lagi perjalanan “pulang”.
Untuk pulang itu melalui suatu pintu yang bernama “kematian”, dan semua yang hidup “hukumnya” pasti mati; dan tidak ada pintu lain selain itu. Pertanyaan tersisa kapan kita dipanggil untuk masuk pintu itu, tidak ada satupun mahluk di dunia ini yang mengetahui, karena itu bukan wewenangnya.
Kerangka di atas jika kita kontemporerkan akan menjadi “datang mencari amal, pulang berbekal amal”. Tinggal definisi operasional dari amal itu yang harus kita cermati, dan itulah wilayah kita sebagai manusia. Bisa jadi amal itu adalah kebaikan yang dikenal dengan amal soleh, atau bisa juga sejumlah keburukan atau yang kita sebut dosa. Berikutnya tinggal ukuran yang menyertainya: mana yang akan dipakai. Jika itu merupakan amal saleh, sedikit dalam jumlah tetapi berat dalam bobot atau banyak dalam jumlah tetapi ringan dalam bobot. Memang yang ideal adalah banyak dalam jumlah dan berat dalam bobot. Sementara, menjadi sia-sia jika sudah sedikit tidak berbobot.
Sebaliknya, jika itu dosa, paling tidak kita ada pada posisi sedikit dalam jumlah dan ringan dalam bobot. Sebab, tidak ada manusia yang terbebeas dari dosa. Justru karena dosa inilah menyempurnakan kita sebagai manusia. Tinggal maukah kita bersegera mohon ampunan kepada Sang Khalik.
Selamat menikmati Jumat pagi.