Cara Super-Koplak Menghindari Jerat Hukum

YOGYAKARTA, teraslampung.com–Kisah dari Yogya ini barangkali bisa disebut sebagai cara ‘superkoplak’ untuk menghindari jerat hukum. Bayangkan, untuk menghindari hukuman Edy Sumarno, tersangka korupsi pupuk bersubsidi di Yogyakarta s...

Cara Super-Koplak Menghindari Jerat Hukum
Ilustrasi

YOGYAKARTA, teraslampung.com–Kisah dari Yogya ini barangkali bisa disebut sebagai cara ‘superkoplak’ untuk menghindari jerat hukum. Bayangkan, untuk menghindari hukuman Edy Sumarno, tersangka korupsi pupuk bersubsidi di Yogyakarta senilai Rp 800 juta, memalsukan surat kematian dirinya sendiri.

Karena Edy Sumarno dinyatakan ‘mati’, maka lahirlah surat penghentian penyidikan. Untunglah kedok Edy kemudian terbongkar sehingga dia dicokok aparat. Selain harus menghadapi hukuman karena kasus korupsi, Edy Sumarno pun harus pasrah dijerat dengan pasal pemalsuan dokumen kematian.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DIY Suyadi menyatakan, dari hasil penyidikan tersangka korupsi pupuk bersubsidi dapat dianggap menghindari pemeriksaan atau menghalang-halangi penyidikan.

Caranya, dengan memberikan surat kematian palsu sehingga mengesankan dirinya seolah-olah sudah mati.

“Yang bersangkutan kami anggap menghindari pemeriksaan atau menghalang-halangi penyidikan dengan memberikan surat kematian palsu,” kata Suyadi saat ditemui wartawan di Gedung Kejati DIY belum lama ini.

Mengenai apakah ada pihak lain yang terlibat, termasuk dari lingungan internal Kejati DIY. Ia akan melihat dulu perkembangannya karena membuat keterangan palsu, pasti ada pihak lain yang terlibat.

“Perbuatan semacam ini kan tidak dilakukan sendiri, ada orang lain yang membantu. Cuma bagaimana perkembangannya lihat saja nanti seperti apa,” tambahnya.

Kalau memang ada pihak lain yang terlibat, termasuk dari lingkungan kejaksaan berarti yang dijadikan tersangka melanggar pasal 21 UU No 31/2009 tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya satu orang.

Edy Sumarno ditetapkan sebagai tersangka korupsi pupuk bersubsidi senilai Rp 800 juta karena tidak menyalurkan pupuk tersebut sebagai mana mestinya. Tindakan tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian negara.

Penyidikan terhadap yang bersangkutan dihentikan, saat Kepala Seksi Penyidikan Kejati DIY dijabat oleh Dadang Darussalam dan Kajati DIY saat itu M Ali Muntohar. Penghentian penyidikan dari terbitnya SP 3, berdasar dari surat kematian tersangka.

Kemudian, ditemukan surat kematian tersebut palsu. Saat jaksa perdata Kejati DIY berusaha mengklarifikasi data, menyiapkan gugatan kepada ahli waris untuk mengembalikan kerugian negara. Pihak aparat Desa Sinduadi Mlati Sleman menyatakan bahwa surat kematian tersebut, sudah tidak digunakan lagi selama bertahun-tahun.
Jaksa juga menemukan yang bersangkutan masih hidup, saat mengklarifikasi langsung ke alamat yang dimaksud di daerah Pogung Baru. Kajati DIY Suyadi kemudian menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk membuka kembali kasus tersebut.

Sumber: Tribun Yogya