Kopi Pagi: Cerita tentang Anak Dalam

Asarpin* Suatu hari, di sebuah dusun bernama Ajan, hidup seorang bocah yang dipanggil Anak Dalam. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjaga kibau (kerbau) milik bapaknya. Si anak sering mengangon (mengembalakan) kerbaunya di tepi Wai Ngarip ya...

Kopi Pagi: Cerita tentang Anak Dalam
Asarpin*

Suatu hari, di sebuah dusun bernama Ajan, hidup seorang bocah yang dipanggil Anak Dalam. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjaga kibau (kerbau) milik bapaknya. Si anak sering mengangon
(mengembalakan) kerbaunya di tepi Wai Ngarip yang dikelilingi oleh tebing dan
pepohonan raksasa. 

Di
dusun itu hanya ada lima keluarga, salah satunya adalah keluarga Anak
Dalam.  Dusun itu diselimuti hutan lebat dari beragam jenis pohon dan
tanaman yang membentang
sepanjang Datar Ajan di hulu Way Ngarip hingga muara Pekon Balak.

Suatu kali Anak Dalam mendengar suara
pepohonan tumbang di hutan dan kerbau-kerbau yang digembalakannya berlari
menjauh seakan menghindar dari marabahaya. 

Anak Dalam segera menyelidiki apa
yang terjadi di tengah belantara itu. Ternyata segerombolan orang sedang
menebang pohon raksasa yang menjulang tinggi. Ia segera pulang mengadukannya kepada bapaknya dan si bapak
kemudian bersama lima kepala keluarga dusun itu mendatangi orang yang menebang
pohon tersebut, memberi tahu dan menyampaikan bahwa pohon-pohon besar di hutan
itu dijaga naga raksasa yang bisa menghisap manusia yang mencoba menyakitinya. Orang-orang yang menebang pohon itu merasa ketakutan tatkala melihat pohon yang telah tumbang
itu mengeluarkan cairan merah seperti darah. Mereka berhamburan lari dari hutan
dan tak pernah kembali.   

Bertahun-tahun lamanya pohon yang
mengeluarkan getah serupa darah itu terus mengalir di sekitar tebing Wai Ngarip
sehingga kelak tebing itu dinamakan Tebing
Masuh
(Tebing Luntur). Saban hari tebing itu meneteskan air berwarna kemerah-merahan.
Di bawah tebing itu konon ada sebuah keramat orang
muslim yang dijaga oleh kepiting raksasa. Tak jauh dari Ajan ke arah
perkampungan besar, terdapat sebuah makam kuno bernama Makam Gunung Putri.
Suatu kali ada segerombolan perambah
memasuki hutan tempat si Anak Dalam mengangon
kerbaunya. Mereka menembakinya dengan senapan angin dan ia tewas di atas
punggung kerbau itu, kemudian tubuhnya tajungkang ke bawah tebing yang curam. Kelak
tempat anak itu terbunuh diberi nama Teba
Anak Dalam
(Tanjakan Anak Dalam). Ketika jasadnya kemudian ditemukan, ia di
makamkan di tanjakan itu. Keluarga dan penduduk yang tinggal di kawasan itu
akhirnya berpindah ke arah hulu sungai dan membangun tempat baru. Kampung lama
itu dibakar oleh para perambah, dan satu per-satu pohon raksasa di hutan itu ditebang.
Beberapa tahun kemudian terjadi banjir
besar yang menghanyutkan seluruh rumah di kampung bawah dan ratusan orang mati dibawa
arus sungai Way Ngarip. Banjir tersebut membawa ratusan pohon tumbang menerjang
rumah-rumah penduduk. Kampung bawah kemudian berubah menjadi aliran sungai dan
tak menyisakan satu rumah pun.
Cerita di atas amat terkenal di wilayah
Siringbetik, Way Ngarip. Ia telah menjelma legenda  yang dipercaya pernah ada dalam kisah nyata. Dalam
catatan sejarah ingatan penduduk, di daerah kejadian cerita ini memang pernah
beberapa kali terjadi banjir besar yang membawa puluhan kayu yang tumbang yang
menghabiskan seluruh rumah penduduk. Banjir 1986 barangkali banjir terakhir
terbesar yang menelan jiwa cukup banyak dan menghanyutkan lebih dari tiga
pekon. Banjir ini diabadikan oleh penyanyi legendaris Kotaagung, Arifin, dalam
lagu daerah Lampung berjudul “Banjekh Lampung Selatan”. Dengan diiringi suara
gemuruh-menggelegar dan suara petir, bertanda air bah akan segera datang,
Arifin melantunkan larik-larik yang penuh magis yang syarat dengan nilai-nilai
kearifan .  

*Esais