Aku Datang, Cuci Tangan, Terus Pulang

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pagi itu saya kedatangan tamu kehormatan; pimpinan lembaga tinggi di tempat bertugas merapat ke ruangan. Panjang kali lebar sehingga luas kami bincangkan; dari masalah yang remeh t...

Aku Datang, Cuci Tangan, Terus Pulang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Pagi itu saya kedatangan tamu kehormatan; pimpinan lembaga tinggi di tempat bertugas merapat ke ruangan. Panjang kali lebar sehingga luas kami bincangkan; dari masalah yang remeh temeh sampai pada masalah yang cukup berat membebani kepala; karena berkaitan dengan nasib lembaga. Ada persoalan krusial menyangkut bagaimana pimpinan tinggi lembaga hanya diberi tugas oleh negara dalam tempo sesingkat-singkatnya harus mengantarkan pucuk pimpinan lembaga. Layaknya teks proklamasi yang berisikan perintah singkat, mendasar, dan selesai. Tentu saja pola ini sangat sesuai dengan kondisi saat itu sebagai pernyataan kemerdekaan bangsa dan negara. Namun untuk kondisional seperti saat ini yang menimpa suatu lembaga terhormat yang mengurus dunia keilmuan, tampaknya perlu dikaji ulang.

Diskusi berkembang ketingkat yang lebih tinggi; dan terkadang bersenggolan dengan “makrifat sosial”; karena harus mengadakan analisis dengan melepaskan diri dari orang sebagai pelaku; lembaga sebagai wadah. Walaupun keberlakuan universal amat sulit dicapai, karena masih berpijak pada bumi kasus. Diskusi itu jika dinarasikan akan tampil sebagai berikut:

Pada situasi genting yang mendorong untuk kita mengambil sikap,  ternyata banyak dijumpai dalam bersikap, layaknya orang pergi kenduri: “datang, cuci tangan, terus pulang”. Semula bersahabat. Setelah datang musibah, semua minggat. Sejuta alasan dibentang, seribu alasan didendangkan. Manakala diujikan dengan bilah pisau bermata dua, ternyata hati pun sudah tertutup untuk menerka dan membeda; antara pertolongan dan pembunuhan harga diri.

Kondisi ini terjadi menurut teori sosiologi karena ikatan yang dibangun berpola fungsional. Masing-masing sel sebagai anggota memerankan suatu sistem. Dalam sistem ini masing masing sel berfungsi jika ada yang memfungsikan. Akibat tokoh sentral penggerak fungsi terkena masalah, maka sistem keorganisasiannya berantakan. Sel-sel menyelamatkan diri masing masing. Bahkan mereka yang selama ini merindu puja, menyanjung tinggi ke atas langit, ternyata kemudian menjadi ‘penghianat’ sosial bernomor wahid.

Pada situasi “keretakan” sosial munculah para pecundang yang mengubah diri menjadi “pahlawan”. Tidak segan segan menepuk dada bahwa dirinya adalah “sang penyelamat”. Padahal semua makhluk di bumi, temasuk setan pun mengetahui bahwa dia adalah “penikmat” yang berlindung pada azab.

Kondisi ini mendorong untuk memunculkan langkah solutif yang konvergensif, baik yang bersifat metodologis maupun filosofis; sehingga tidak menimbulkan persoalan baru dikemudian hari. Adapun langkah tersebut: Pertama, secara filosofis para senior baik yang sudah purna bakti maupun belum diharapkan selalu memberikan dorongan moral agar khitah dan marwah lembaga tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Kedua, mereka yang tersentuh langsung maupun yang mengetahui tetapi tidak memberikan peringatan dini, terutama yang ada pada lini utama, sebaiknya mengambil sikap untuk mundur secara jantan sebagai bentuk tanggungjawab moral kepada lembaga, apalagi memaksakan diri untuk ambil alih kepemimpinan kedepan; hal itu adalah merupakan ketidakpatutan tingkat dewa yang harus disadari.

Ketiga, secara metodologis, memberikan kesempatan kepada mereka yang muda potensial untuk mengambil peran aktif guna pemulihan lembaga, dan mengambil peran kepemimpinan kedepan secara merdeka tanpa dibayang-bayangi oleh sejarah masa lalu yang kelam atau pengaruh tokoh sentral tertentu. Keempat, juga secara metodologis, kepemimpinan sementara yang mempersiapkan pembentukan warna lembaga ke depan, sebaiknya menangkap aspirasi bawah dengan berkeliling menjemput bola. Mendengarkan memang memerlukan kecerdasan yang tinggi, terutama kecerdasan emosional, namun ini harus dilakukan agar memperoleh gambaran yang lengkap tentang apa dan bagaimana sebenarnya arus bawah.

Diskusi terputus sampai di sini karena bertepatan tamu terhormat tadi memiliki agenda lain yang cukup penting untuk beliau selesaikan. Semoga butir butir diskusi tadi dapat menginspirasi semua pihak, guna dijadikan referensi kedepan dalam menghadapi persoalan persoalan keberlanjutan kelembagan agar lebih baik lagi. Kelemahan diskusi ini karena hanya dibincangkan dua orang yang terbatas spektrum penguasaan pendalaman persoalan. Akan menjadi lebih baik lagi jika jumlah peserta diskusi lebih luas dan lebih banyak lagi, sehingga diperoleh kesimpulan yang digunakan untuk saran para pemangku kepentingan.

Ada hikmah di balik peristiwa. Semula banyak pihak yang agak menghindar untuk berkunjung ke ruangan sekadar diskusi,  sekarang justru hampir setiap saat banyak yang datang untuk berdiskusi dan minum kopi, walau terkadang hanya untuk bercuci tangan, dan terus pergi. Ada juga yang makin tiarap karena muka sudah tidak sanggup lagi untuk menatap matahari.

Selamat ngopi panas di Senin pagi…