Tiap Desa Berpotens Kelola Dana Rp 2,5 Miliar
ilustrasi.detik JAKARTA, Teraslampung.com – Pada masa mendatang desa memiliki sumber daya yang cukup besar untuk mendukung kemandirian masyarakat. Dana tersebut berasal dari tujuh sumber pendap...
| ilustrasi.detik |
JAKARTA, Teraslampung.com – Pada masa mendatang desa memiliki sumber daya yang cukup besar untuk mendukung kemandirian masyarakat. Dana tersebut berasal dari tujuh sumber pendapatan yakni APBN, alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil, pajak dan retribusi, bantuan keuangan APBD provinsi, kabupaten, dan si/Kab dan Kota, hibah dan lain-lain yang sah dan tidak mengikat.
“Jika digali dan dikelola dengan benar, desa berpotensi menerima lebih dari Ro 2,5 miliar,” kata Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan RI, Rukijo, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) di Jakarta, Sabtu lalu (20 /12).
Sayangnya, kata Rukijo, masyarakat sering hanya terfokus pada dana desa yang bersumber
dari APBN. Padahal, penganggaran dana yang berasal dari APBN itu masih menyisakan berbagai ketidakpastian akibat data jumlah desa yang terus berubah.
“Data terakhir per 10 Desember adalah 74.045 desa,” ujarnya.
Rukijo mengatakan,tidak mudah untuk menghitung alokasi dana per desa yang sering memancing ketidaksabaran. Alokasi dana desa dihitung dengan mempertimbangkan jumlah penduduk desa, jumlah penduduk miskin, luas wilayah desa dan tingkat kesulitan geografis.
“Akibatnya angka yang dihasilkan bisa sangat beragam dan ini berpotensi pada konflik antar kepala desa,” katanya.
Sementara itu, di hadapan 200 fasilitator yang berasal dari 30 provinsi, Budiman Sujatmiko
mengakui peran penting fasilitator pascaimplementasi UU Desa. Namun, ia mengingatkan
perlunya revolusi mental di kalangan para pendamping ini.
“UU Desa tidak hanya membawa sumber pendanaan pembangunan bagi desa, namun juga memberi lensa baru pada masyarakat untuk mentransformasi wajah desa. Fasilitator dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan itu,” kata dia.
Hal senada disampaikan oleh Arie Sujito. Menurut dosen Sosiologi UGM yang juga peneliti
IRE ini, pendamping desa tetap diperlukan. Namun, pola pikirnya harus diubah dari
pendamping proyek menjadi pendamping masyarakat, dari fasilitator mekanik menjadi
fasilitator organik.
“Kalau fasilitator masih mendominasi dan menempatkan masyarakat sebagai obyek, maka sejatinya ia tidak melakukan pemberdayaan, namun kolonialisasi,” katanya.







