Saya, Ukim, dan Mi Rebus

Oyos Saroso H.N. Selain Rokhmat, semasa kuliah saya sangat karib dengan Ukim Komarudin. Usianya setahun di atas usiaku. Namun, aku terbiasa memanggil namanya saja: Ukim. Lengkapnya Ukim Komarudin. Kami sama-sama kuliah di IKIP Jakarta jurusan Bahasa...

Saya, Ukim, dan Mi Rebus

Oyos Saroso H.N.

Selain Rokhmat, semasa kuliah saya sangat karib dengan Ukim Komarudin. Usianya setahun di atas usiaku. Namun, aku terbiasa memanggil namanya saja: Ukim. Lengkapnya Ukim Komarudin. Kami sama-sama kuliah di IKIP Jakarta jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Persamaan lainnya: 1. kami sama-sama harus bekerja keras untuk bisa kuliah, 2. kami sama-sama tidak punya kelas reguler karena alih program dari lain jurusan/lain jenjang, 3. kami sama-sama lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Bagi saya, Ukim seorang kawan yang baik hati. Solatnya rajin. Alim. Karena kealimannya saya tertarik bersahabat dengannya.Eh, siapa tahu aku yang berangasan bisa ketularan alimnya. Eit..jangan salah, selain tampak alim, dia juga bisa ‘nakal’ seperti saya (off the record). Joke-joke sering lucu. Saya suka dengan joke-joke dia yang berasal dari pengalaman pribadinya, terutama perngalaman pribadi dengan cewek.

Kami makin akrab ketika sama-sama belajar teater di Teater Tanah Air pimpinan Mas Jose Rizal Manua di TIM. Bertambah akrab ketika sama-sama merintis Teater Zat di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta. Kami berdua, pada tahun 1993-1996, termasuk yang rajin “meracun” adik-adik kelas untuk mencintai sastra dan teater. Tiap Sabtu pagi kami kumpulkan adik-adik kelas untuk diskusi sastra di taman kampus atau emperan Teater Sastra UI Rawamangun.

Yang selalu kuingat dari Ukim dari cerita tentang sebungkus indomie. Kejadiannya kira-kira tahun 1993-an. Alkisah, pada suatu Minggu yang menjengkelkan, kami sama-sama bokek. Uang di saku tinggal seribu perak. Saatnya makan siang sudah lewat.

Uang segitu untuk makan kami berdua jelas kurang (apalagi saya biasa makan banyak). Kalau untuk makan mi rebus berdua di warung depan gang Jl. Rawamangun Muka Selatan II Jakarta Timur pun kurang. Bisa sih makan mi rebus berdua. Tapi, di rumah ada seorang kawan lagi yang sedang mendengkur dan kami kira sejak pagi juga belum makan.

Akhirnya disepakati uang seribu itu dibelikan mi instan dan telur dan dimasak di rumah. Maka, sore itu perut kami pun akhirnya terisi oleh makanan yang saat itu kami rasakan sangat nikmat. Ya, nikmatnya orang lapar…

Tak cuma berhasil menaklukkan kemiskinan dan menyunting seorang gadis pujaannya, kini Ukim juga berhasil menjadi seorang guru yang baik. Ia rajin menulis dan menjadi inspirasi para siswanya. Menekuni karier sebagai guru SMP di SMP Labschool, Ukim pada akhirnya menduduki posisi puncak sebagai kepala sekolah. Gelar master pun sudah diraih. Kini dia sedang mengejar gelar doktor.

Tentu saja, saya sangat bangga dengan Ukim. Meskipun kini Ukim sudah berpakaian necis dengan leher diikat dasi atau nanti bergelar doktor, saya berharap Ukim tidak melupakan jasa mi rebus…