Rezeki, Kehendak, dan Jalan Tuhan
Oleh: Sudjarwo
Sore itu di serambi sebuah pesantren, ketika cahaya matahari mulai condong ke barat, seorang santri muda bertanya dengan raut ingin tahu kepada kiainya. “Kyai, mengapa ada orang yang tahu bahwa bersedekah itu baik, tapi tetap enggan melakukannya?”
Sang Kiai tersenyum, menatap lembut wajah santrinya, lalu menjawab pelan. “Nak, membelanjakan rezeki di jalan Allah bukan perkara tahu atau tidak tahu, tetapi perkara hati yang dibukakan oleh-Nya. Ada yang tahu tetapi tak mau. Ada yang mau tetapi tak mampu. Di situlah Allah menunjukkan kuasa-Nya…”
Ketika dikatakan bahwa “membelanjakan rezeki ke jalan Tuhan tidak semua kita dibukakan hati,” maka di sana tersembunyi suatu kebenaran yang dalam tentang keterbatasan manusia dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai kebaikan.
Banyak yang tahu apa yang baik, tetapi tidak mau melakukannya. Ada pula yang ingin berbuat baik, namun tidak mampu. Dalam ketimpangan antara pengetahuan, kehendak, dan kemampuan itulah, Tuhan menyingkapkan rahasia kuasa-Nya.
Manusia, sebagai makhluk berakal dan berkehendak, selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan moral. Ia dapat menggunakan rezeki, dalam bentuk harta, waktu, tenaga, maupun pengetahuan, untuk menegakkan kebaikan atau justru memuaskan hawa nafsunya. Namun, keputusan untuk membelanjakan rezki di jalan Tuhan tidak semata-mata hasil dari kesadaran rasional.
Ada dimensi batin yang lebih dalam: “pembukaan hati”. Hati yang terbuka kepada kebenaran adalah anugerah, bukan semata hasil usaha manusia. Oleh karena itu, ada manusia yang tahu apa yang benar, tetapi tidak mau melakukannya karena hatinya tertutup oleh keserakahan, ketakutan, atau egoisme. Ada pula yang memiliki hati yang tulus, namun tidak diberi kemampuan material untuk berbuat sebagaimana yang diinginkan. Di sinilah letak misteri kehendak ilahi dan keterbatasan manusia di hadapan-Nya.
Rezeki, dalam hal ini, bukan hanya soal kepemilikan material. Ia adalah simbol dari potensi yang Tuhan titipkan kepada manusia. Setiap bentuk kelebihan, entah harta, kemampuan berpikir, tenaga, atau bahkan waktu, merupakan bagian dari rezki. Ketika seseorang tidak mau membelanjakan rezekinya di jalan kebaikan, hal itu mencerminkan keterputusan antara dirinya dengan sumber makna yang sejati. Ia memandang rezeki sebagai miliknya, bukan titipan. Padahal, kesadaran bahwa segala sesuatu adalah titipan merupakan titik awal spiritualitas yang mendalam dari seseorang.
Di saat seseorang mampu melepaskan egonya dan menggunakan rezeki sebagai sarana pengabdian, ia sebenarnya sedang melampaui keterbatasan dirinya. Ia membebaskan dirinya dari cengkeraman kepemilikan yang palsu dan menemukan kebebasan sejati: kebebasan untuk memberi.
Namun, bagaimana dengan mereka yang ingin memberi tetapi tidak mampu? Di sini, filsafat manusia mengajarkan bahwa nilai moral tidak hanya diukur dari tindakan lahiriah, tetapi juga dari niat dan kesadaran batin. Kehendak untuk berbuat baik, meski tanpa kemampuan untuk melakukannya, sudah merupakan bukti dari hati yang terbuka.
Dalam ranah eksistensial, kehendak itu sendiri adalah bentuk pengakuan terhadap nilai kebaikan yang melampaui kepentingan pribadi. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, memperhitungkan bukan hanya hasil, tetapi juga keikhlasan yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Maka, dalam keterbatasan seseorang yang tidak mampu, justru tampak keindahan iman: sebuah penerimaan bahwa dirinya tidak berkuasa atas segala hal, dan bahwa segala sesuatu bergantung pada kasih dan kehendak Tuhan.
Sementara itu, bagi mereka yang memiliki kemampuan namun tidak mau menggunakannya untuk kebaikan, di situlah tampak sisi gelap kebebasan manusia. Mereka tahu, tetapi tidak mau. Pengetahuan tanpa tindakan melahirkan kehampaan moral. Manusia semacam ini hidup dalam ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya diperbudak oleh keinginan dan ketakutannya sendiri. Ia menolak jalan Tuhan bukan karena tidak tahu, melainkan karena enggan menundukkan diri. Dari sudut pandang filsafat eksistensial, ini adalah bentuk keterasingan tertinggi: manusia yang kehilangan makna karena menolak sumber makna itu sendiri.
Pada tatanan semesta yang lebih luas, perbedaan antara yang tahu tetapi tidak mau, yang mau tetapi tidak mampu, dan yang mampu serta mau, menunjukkan bahwa kehidupan manusia adalah ruang bagi perwujudan berbagai kemungkinan eksistensi. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan menempatkan manusia pada posisi-posisi yang berbeda agar dari setiap keadaan itu muncul pelajaran dan kesadaran baru.
Yang tahu tetapi tidak mau diingatkan akan kesombongannya, yang mau tetapi tidak mampu diuji keikhlasannya, dan yang mampu serta mau diberi kesempatan untuk menegakkan kebaikan dan menjadi saluran rahmat bagi sesamanya. Dalam keberagaman nasib dan kemampuan itulah, tersingkap keadilan yang lebih tinggi: bahwa setiap manusia diberi ruang untuk menemukan makna hidupnya masing-masing.
Membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, pada akhirnya, bukan sekadar tentang memberi secara material. Ia adalah perjalanan menuju pemurnian diri. Ketika seseorang rela melepaskan sebagian dari yang ia cintai demi kebaikan, ia sedang melatih dirinya untuk tidak diperbudak oleh benda. Ia belajar tentang makna keberadaan yang sejati; bahwa hidup tidak diukur dari seberapa banyak yang dikumpulkan, melainkan dari seberapa banyak yang dapat diberi. Dalam proses memberi itu, manusia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepemilikan, melainkan dari kesatuan dengan sumber kebaikan itu sendiri.
Maka, ketika kita melihat bahwa tidak semua dibukakan hati untuk membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, janganlah kita tergesa menghakimi. Sebab di balik setiap hati yang tertutup atau setiap tangan yang kosong, Tuhan sedang menunjukkan sisi lain dari keadilan dan kasih-Nya.
Ia mengajarkan bahwa kebaikan bukanlah hasil dari kemampuan semata, tetapi buah dari kesadaran yang dibimbing oleh rahmat. Di antara tahu, mau, dan mampu, manusia terus berjalan, berjuang memahami dirinya dan mencari jalan pulang menuju sumber segala kebaikan. Di situlah filsafat kehidupan menemukan maknanya: bahwa dalam setiap keterbatasan, selalu ada ruang bagi Tuhan untuk menampakkan kuasa dan kasih-Nya. Terimakasih untuk orang-orang baik.***
*Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung











