Rencana Kereta Gantung Bandar Lampung: Ambisi yang Menggantung Tanpa Arah
Oleh: Iqbal Almuntarie Perencana Transportasi, Pemerhati Kebijakan Publik, Alumnus Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, asal Lampung Wali kota Bandar Lampung Eva Diana baru saja mengumumkan gebrakan pembangunan yang ambisius, memukau masy...

Oleh: Iqbal Almuntarie
Perencana Transportasi, Pemerhati Kebijakan Publik, Alumnus Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, asal Lampung
Wali kota Bandar Lampung Eva Diana baru saja mengumumkan gebrakan pembangunan yang ambisius, memukau masyarakat dengan pernyataan penuh keyakinan tentang rencana infrastruktur megah dan monumental yang akan segera hadir. Pertanyaan kemudian muncul, terutama dari mereka yang masih cukup peduli akan kewarasan kota. Untuk apa pembangunan tersebut diagendakan dan siapa yang benar-benar membutuhkannya?
Kereta gantung. Rencana yang datang membawa imajinasi tentang sesuatu yang akan melayang dan lalu-lalang di langit ibu kota Provinsi Lampung. Digadang-gadang sebagai destinasi wisata spektakuler, tetapi di saat yang bersamaan, sayangnya, juga menjadi penanda bahwa logika perencanaan dan urgensi kebutuhan masyarakat telah ikut tergantung ambisi kebijakan.
Dibungkus optimisme yang menggebu, pembangunan ini seperti berdiri tanpa pijakan. Tidak terlihat telah adanya studi perencanaan maupun analisis kelayakan yang dapat melegitimisasi bahwa proyek ini akan menjawab persoalan mendasar masyarakat. Seluruh proses perencanaan pembangunan tampak telah tergantikan oleh keyakinan subjektif seorang pemimpin yang, secara sepihak, merasa telah cukup mewakili warganya.
Manfaat proyek ini belum sepenuhnya jelas. Namun, atau mungkin justru itu intinya: proyek ini memang tidak diinginkan untuk dipahami, cukup dijadikan simbol kemajuan lalu dibiarkan melayang di atas masalah-masalah nyata masyarakat yang hingga kini masih menunggu giliran untuk disentuh pemerintahnya. Walaupun demikian, nalar kritis tetap harus ditegakkan untuk meminta penjelasan dari para pengambil kebijakan.
Tujuan yang Belum Terpetakan
Prioritasi proyek sejatinya harus diturunkan dari dokumen perencanaan pembangunan. Jika meninjau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Lampung 2025 – 2045 yang telah ditetapkan, dari sekian banyak destinasi prioritas untuk Kota Bandar Lampung, tidak ditemukan pencantuman rumah dinas wali kota ataupun sebuah pulau, yang bahkan hingga kini masih anonim, sebagai bagian dari rencana pembangunan.
Menjadi wajar ketika keraguan hadir di tengah masyarakat, mempertanyakan apakah pemilihan lokasi didasarkan pada kajian kepariwisataan secara akademis atau hanya didasari oleh pendekatan subjektif relasional dengan pihak tertentu.
Mengingat hingga kini, sepertinya tidak ada pulau, yang masuk dalam wilayah Bandar Lampung, yang telah ramai didatangi masyarakat untuk berwisata.
Penggunaan kereta gantung sebagai sarana wisata sebenarnya sudah banyak dilakukan negara lain. Namun, yang membedakan, kereta gantung dibangun sebagai solusi atas kendala aksesibilitas menuju destinasi yang telah eksis, bukan sebagai langkah awal yang spekulatif. Contohnya adalah Istanbul, Turki dan Tbilisi, Georgia yang memiliki kereta gantung untuk menghubungkan kota dengan spot destinasi di puncak bukit dengan kondisi topografi yang tidak umum.
Selain itu, jika lintasan tetap mengacu pada rencana saat ini, maka besar kemungkinan juga jalurnya akan melewati kawasan permukiman padat, dengan tiang-tiang penyangga yang akan terbangun di tengah permukiman.
Pendanaan yang Belum Tersusun
Pemilihan lokasi keberangkatan kereta gantung dari rumah dinas wali kota mungkin dapat divalidasi dari aspek finansial. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah efisieinsi karena tidak perlu adanya pembelian lahan baru. Walaupun sebenarnya, jika dicermati kembali, dapat menimbulkan pertanyaan, apakah wali kota tetap akan tinggal di sana di tengah keramaian wisatawan atau justru ini akan menjadi pembenaran munculnya anggaran untuk membangun rumah dinas baru? Tidak ada yang tahu pasti.
Kemudian ketika pemerintah menyebutkan bahwa proyek ini akan didanai melalui kerja sama dengan investor asing dari Tiongkok, publik kembali perlu mendapatkan penjelasan. Apakah skemanya adalah Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)?
Jika iya, bagaimana mekanisme pembiayaannya dan pembagian keuntungannya? Apakah akan ada jaminan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)? Nilai proyek sebesar 2,5 triliun rupiah bukanlah angka yang kecil. Bahkan jika berbentuk pinjaman, maka bunga dan cicilannya akan membebani APBD selama bertahun-tahun ke depan.
Pertanyaan tersebut semestinya belum dapat dijawab tanpa adanya studi kelayakan, bukan hanya untuk menilai kelayakan finansial, tetapi juga kelayakan ekonomi dengan menjelaskan manfaat proyek bagi masyarakat luas. Pemerintah patut diminta transparansi dan akuntabilitas sebagai bentuk perhatian masyarakat agar infrastruktur kereta gantung ini benar-benar dibangun atas perhitungan manfaat dan keberpihakan anggaran yang dilakukan oleh para profesional, seperti konsultan, akademisi, dan praktisi pariwisata, bukan semata karena imajinasi perhitungan seorang wali kota.
Urgensi yang Belum Terukur
Kita harus mengakui bahwa niat wali kota membangun kereta gantung untuk meningkatkan pariwisata di Lampung adalah hal yang patut diapresiasi. Namun, penerimaan publik tidak datang semudah itu, terlebih ketika masyarakat terus dihantam berbagai persoalan mendasar. Banjir datang secara rutin, pengangguran tetap tinggi, akses pendidikan rendah, dan layanan kesehatan sulit dijangkau. Permasalahan yang menyentuh langsung kehidupan warga ini masih dibiarkan kusut tanpa arah kebijakan yang jelas.
Masyarakat di Bandar Lampung bukanlah peradaban yang anti terhadap kemajuan. Namun, jelas, setiap ambisi pembangunan harus relevan dengan kebutuhan.
Pertanyaannya lugas: manfaat seperti apa yang akan dihasilkan dari proyek kereta gantung bernilai fantastis ini? Apakah benar-benar akan mengangkat perekonomian masyarakat luas atau hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa?
Bukankah visi wali kota saat kampanya adalah menjadikan Bandar Lampung sebagai kota cerdas? Jika masih tetap sama semangatnya, maka perumusan proyek juga harus mencerminkan kecerdasan tersebut dengan perencanaan yang rasional, partisipatif, dan berpihak pada publik. Sudah saatnya masyarakat terlibat secara aktif dalam arus perubahan, bukan sekadar menjadi objek pasif dari rencana pembangunan yang masih samar manfaatnya.
Bandar Lampung tidak boleh bergantung pada keyakinan personal wali kota, karena jika itu yang terjadi, yang melayang bukan hanya kereta gantung, tetapi juga kepercayaan publik yang perlahan menggantung. Wisata di kota ini harus terisi sepenuhnya dengan senyuman, tanpa menyisakan kesedihan bagi mereka yang merasa tertinggalkan di bawah bayang-bayang ambisi proyek kereta gantung dari wali kota.***