‘Rai Gedhek’ alias Muka Tembok
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Gedhek dalam bahasa Jawa berarti anyaman bambu dengan pola tertentu yang bisa dipakai untuk dinding rumah. Fungsinya kurang lebih sama dengan dinding yang terbuat dari adukan pasir...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Gedhek dalam bahasa Jawa berarti anyaman bambu dengan pola tertentu yang bisa dipakai untuk dinding rumah. Fungsinya kurang lebih sama dengan dinding yang terbuat dari adukan pasir dan semen atau tembok. Gedhek dalam bahasa Indonesia adalah geribik.
Kalau dalam bahasa Indonesia ada istilah muka tembok, maka dalam bahasa Jawa ada ‘rai gedhek’. Kurang lebih artinya sama, yaitu untuk menggambarkan perilaku orang yang tidak tahu malu. Ungkapan metaforik Jawa itu memiliki sejumlah makna makna. Mengapa “gedhek” dikambing-hitamkan untuk mewakili orang-orang yang tak tahu malu, agak sulit menjelaskannya. Ada yang berpendapat bahwa dinding anyaman bambu itu permukaannya tidak rata dan jalinan antarbilah bambu tidak bisa sepenuhnya rapat sehingga ada celah-celah berlubang. Ketidak-rataan dan bolong-bolong inilah yang konon berkonotasi jelek, karena fungsi dinding yang seharusnya menjadi penyekat atau penutup, ternyata pada gedek itu tidak ada. Nah ketida adaan fungsi inilah kemudian menjadi melekat makna negatifnya.
Djoko Pitono seorang wartawan Jawa Pos pernah mengumpulkan kesamaan rai gedhek dalam beberapa bahasa local; Orang Sunda menyebutnya sebagai “kandel kulit beungeut”. Orang Madura mengatakan “tak endik todus”. Sementara orang Bali akan bilang “sing lek”; di Pulau Lombok, orang-orang berbahasa Sasak punya istilah “codol, kedul, atau ngodol”. Ke arah timur lagi, di Pulau Sumbawa, warga setempat yang berbahasa Bima mempunyai sebutan “tiwara waja”. Di Kabupaten Flores Timur, warga yang berbahasa Lamaholot punya istilah “mian take”. Selain itu, di Sulawesi Selatan orang-orang Bugis memiliki ungkapan “degaga siri’na”.
Djoko Pitono mengatakan di antara beberapa bahasa daerah, ungkapan bahasa Batak yang memiliki sinonim dengan rai gedek mungkin paling menarik. Bagi sebagian mereka, “dang maila” boleh jadi dianggap cukup. Tapi, ungkapan yang lebih tepat rasanya adalah “baba nion”. Baba berarti wajah dan nion adalah bibir. Bukan bibir sembarang bibir, tapi bibir yang sangat tebal. Begitu tebalnya bibir itu akibat selalu membual, wajahnya sampai tertutupi. Jadi, orang-orang yang tidak tahu malu di Batak dilukiskan dalam kiasan baba nion. Sementara penulis menelusuri jika orang Palembang menyebut kebalikannya yaitu “katek rai” terjemahan bebasnya tidak punya muka; ini sinonim dengan rai gedek tadi. Ada juga yang menggunakan bahasa lugas “rai tembok dio tu”, terjemahan bebasnya rai tembok dia itu alias tidak punya malu.
Ternyata boleh dikatakan bahwa hampir semua suku bangsa yang hidup di Indonesia ini memiliki kata sinonim untuk ‘rai gedhek’. Ini menunjukkan bahwa perilaku seperti ini juga ada dilingkungan mereka selama ini sebagai pengguna penutur bahasanya. Wajar saja jika sampai hari ini perilaku rai gedek menjalar kemana-mana, dari rakyat sampai pejabat; dari yang miskin sampai yang kaya, dari orang awam sampai yang bergelar.
Bentuk ‘rai gedhek’ ini bisa bermacam-macam, tergantung kepada peran sosial apa yang dilakonkan oleh seseorang, dan dalam status atau jabatan apa. Sebagai contoh, untuk menduduki jabatan tertentu memiliki persyaratan tertentu, seperti tidak terindikasi melakukan pelanggaran perundaang-undangan. Namun karena ber -rai gedek tadi; sekalipun semua orang mengetahui bahwa dirinya tidak memenuhi kreteria itu untuk jabatan tersebut, tetap saja yang bersangkutan “nekad” melamar atau mencalonkan diri untuk jabatan tadi. Orang yang beginilah terkategori rai gedek sempurna. lebih rai gedek lagi yang memilih, jika menjatuhkan pilihan kepada si rai gedek ini. Agar aman atas keraigedekannya maka yang bersangkutan berlindung pada hak asasi, hak kesamaan dan hak lainnya lagi; sehingga kelihatannya patut atau layak.
Musim tahun politik seperti saat ini, banyak berseliweran tokoh dengan perilaku rai gedek; tentu saja membuat rakyat akan menjadi muak melihatnya. Namun karena prinsip yang digunakan adalah “dagang sapi”; maka tidak ada sapi terbaik kecuali milik saya, adalah jargon paling ampuh untuk dipakai. Tinggal kita yang “waras” harus menggunakan akal sehat untuk menemukenali penipuan terselubung atas pembusukan logika; sehingga kita terhindar dari jalan yang sesat dan menyesatkan.
Selamat ngopi pagi.