Quote yang Salah Tafsir
Muhammad Aqiel* Seperti benang kusut apabila kita melihat kata “Cinta” itu secara gamblang. Barang kali pengaruh kata-kata orang lain sering dijadikan acuan, baik dari segi realistis maupun konsepsinya. Ada yang bilang cinta itu tidak seg...
Muhammad Aqiel*
Seperti benang kusut apabila kita melihat kata “Cinta” itu secara gamblang. Barang kali pengaruh kata-kata orang lain sering dijadikan acuan, baik dari segi realistis maupun konsepsinya.
Ada yang bilang cinta itu tidak segampang matematika. Nilai material dijadikan tolok ukur. Cinta juga harus realitis, katanya. Lantas itu kata siapa ? Siapa orangnya ? Ada yang belum tahu karena cuma pernah denger di media sosial.
Alangkah berterimakasihnya kita kepada penulis-penulis hebat seperti Galang Lufityanto, Zaenal Radar T, Tere Liye, Raditiya Dika,Habiburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata yang udah mau repot-repot menulis quote “cinta” yang kece-kece itu.Kerap kali penulis melihat kutipan – kutipan mereka sering dipublikasikan di medsos.
Misalnya seperti tulisan ini: “Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.”
Pasti di antara pembaca pernah dengar kata-kata ini. Jelas sekali bahwa ciri khas penulisannya yang mirip dengan Tere Liye ini adalah quote yang menarik. Sayangnya, kita tidak tahu itu kata siapa. Jelas kata Tere Liye-lah. Yah … lagi-lagi tinta yang digoreskan malah dispelekan begitu saja. Padahal ia memiliki hak paten buat tulisannya sendiri.
Lebih jelasnya kalau tidak begini saja: apas ih arti dari quote itu sendiri? Quote itu kutipan kawan. Ini menjadi bukti sederhana akan budaya literasi yang sudah tergerus oleh media sosial. Miris, kan? Ayo dong baca novel-novel mereka. Jangan baca quotenya saja, biar nggak asal jepret.
Hal demikian rupanya pengaruh literasi juga. Literasi memengaruhi perspektif kita dalam memandang sesuatu. Contohnya saja coba kita liat klaim satu ini: “Jatuh cinta itu berbeda dengan di saat kita putus. Tentu tidak menyakitkan. layaknya air dan emas berbeda tapi mampu mengunggah emosi.”
Namun demikian, jika dikritisi lagi cara ejaan penulisan ini banyak hal yang masih harus dipertanyakan: Apa betul yang namanya jatuh cinta tidak bikin sakit? Lalu, mengapa harus diletakkan kata “jatuh” di depan kata “cinta”? Bukankah yang namanya “jatuh” itu selalu menyakitkan?
Kritis bukan? Senada dengan yang diutarakan sebelumnya peranan vital literasi pun mencakup problematika sepele di tiap lini kehidupan modern sekarang. Termasuk masalah percintaan dari segi “sosial media are tools. real time is minsed.” Bermula kesalahpahaman esensi nyata dari “quote” berakhir menjadi kebiasaan yang bertolak belakang.
Melalui literasi, menuai peradaban baru, menulis dan berfikir bebas menggelanggang dunia. Esensinya tetap berpikir merdeka!
*Reporter LPM Republica Fisip Unila











