Puisi Ahmad Yulden Erwin
PERAWI REMPAH 1 Minggu pagi menggigil di sayap burung undan, seperti ratusan minggu pagi lainnya, menyusun sesatu kenangan. Kau mencari beberapa onggok pulau di Timur dengan w...

pagi menggigil di sayap burung undan, seperti ratusan
lainnya, menyusun sesatu kenangan. Kau mencari
pulau di Timur dengan wangi cengkih tertiup
dan kelasi itu berteriak, ‘Surga telah ditemukan!’
anjungan, kau nampak berdiri menatap selengkung
setapak jejak sepatu mengutuk layar kapalmu; kini
putri duyung berbau pala di ranjang kabut
pagi,
lidah jahe menjilat ususmu. Saat itu angin mati,
kelasi lapar dihajar kudis. ‘Bunuh saja aku!’ gerutumu.
kaukenang janjimu, atau mimpi buruk itu:
berkarung lada
tumbung gurita raksasa saat kembali, delapan
membelit sepeti koin emas, tentu saja bajingan
itu
menuntut balas andai tiada kautebus amis mulutnya
kayu manis, plus bebiji lada, dari ladang rahasia. Maka,
kauburu rempah sepanjang bandar antik dan
Afrika: ‘Meski badai mendampar kami ke tengah
pasifik.’
telah dihamparkan!’ kelasi itu kembali berteriak, ombak
tangkai cengkih di puting pelangi. Kau terjaga.
percaya kaugosok kedua matamu di bawah alis pagi:
berbaring nudis di pantai sunyi. ‘Haleluya!’ Alangkah
tengah menapak di pasir pantainya. Tentulah wajar
bebulir hitam terserak di sana, surga akan selalu
Pantaslah tamak-tamak kauisi palka kapalmu dengan
rempah. Beginilah hikayat Nusa Moloku sebelum dijarah.
bersama irisan daging kering, kutu dan belatung
lebih dulu menyantapnya, begitu sarapan bagi para kelasi
siang dan makan malam mereka; sesayat mimpi
setimbun rempah eksotis di pulau tropika. Mereka bukan
Selat Malaka, mereka lanun penggila misteri,
kaum kafir dari ketel neraka. Tiada gentar mereka,
telah mekar di ladang nyali musim dingin Eropa,
lada, sebab tafsir tertera dalam sabdanya:
kaurampas di tanah ini akan menjelma doa,
sempurna, resah tiada, kaulah wakil kerajaan Bapa.
itu kau berdoa: ‘Undanglah kami, O Yesua, mencicipi
beraroma rempah, semeja-hidang Ratu Sheba.’
bukanlah Yesua undang kalian, melainkan
tentara Sultan: ‘Kalian babi bulai pencuri pala
petani!’
mereka digiring ke halaman istana; menanting
piring, panci, kuali dan peralatan makan lainnya –– juga
juru peta, juga Kidung Cinta Salomo penakluk
dunia:
hidung surga. ‘Kenapa Tuan Nakhoda curi itu
pala?’ murka Sultan Boalief. ‘Sebab di sini tanah
Yesua,
dipungut seturut kami suka,’ singut Tuan Nakhoda,
kecut, ditatapnya merah jambul kasuari di
pici Sultan
‘Di Nusa Tarnate orang bole ambil segala suka,
bisa Tuan ganti kami punya!’ Ciutlah
nyali nakhoda,
Sunda Kelapa, hanya jubah lusuh dan zirah
Cemas oleh gagal akan misinya, pias akan
tentakel gurita, ia letakkan sarung belati dan kitab
kaki sultan Tarnate, ‘Habis kini harta tersisa.’
Haru
begini, setengah tertawa, sultan berbagi jatah pala.
membangun benteng kecil di tengah
padang ilalang,
kafir itu mengayunkan pedang, sebelum
tarian
tabun perang. Cuaca melesit langit biru
sebiji mata kucing lapar. Dagumu naik,
lekas meracau kalimat jemu, ‘Salju tak laik ada
tropika.’ Kecuali batu dan kepulan debu, musim
Tidore membakar benteng kecilmu,
segenap harapmu; begitulah kauputuskan segera
coklat itu, pentil sepasang teteknya berbau pala.
kautakik tradisi membenci, melawan nasibmu
begitu jelas taktik paling minim, sebelum
surat itu, sebelum datang penjarah baru
dengan mesiu. Terayun dari moncong buaya
begini nasibmu terbantun dikutuk aroma rempah
mulut gurita. Tiada Yesua di pantai surga,
kecuali sepasang beruk keling memanjat sebatang
subur di ranah mimpimu, mereka kawin
merekalah moyang segala penjarah terkeji
bumi, pelahir jadah-jadah sinting sejarah, penghasut
cacing-cacing pita penafsir vagina-kedamaian paling suci.
saat paling tepat buat pembalasan, bukan?’ Begitu
dalam suratmu ke Lisbon, usai perjanjian paling oon
milik dua kerajaan –– seekor paus putih
restu dari moncongnya menganga kelaparan
dan ubur-ubur, plus ganggang beracun.
kapalmu makin mengganas, kau tak berharap
jadi kauputuskan wajib menjarah dan membantai
penduduk surga ini, meski Yesua mesti disalib dua kali.
berpikir; prinsip filsafat Descartes.
bakteri: engkau
hanyalah atom, buih api yang terkunci
kita
cuma karbon, tanah hitam tempat naga
Beberapa bakteri adalah anarkhis sejati,
benci sapu kotor, mereka asyik main band
sanalah Manu
memandikan testisnya dengan air mata.
ultra kiri,
jadi patogen, namun tergesa menginfeksi
matahari.
Beberapa bakteri bagai mistikus bulan,
mendadak jadi parasit di tumit pemujanya.
liberal,
gagal menyangkal asumsi di bibir siluman:
Tuhan.
Seluruh bakteri telah usai membelah diri.
trans-hagemoni. Kini,
setiap bakteri cuma the game of binary.
berpikir, bukan
menafsir. Bakteri itulah kitab terakhir.
melihat segalanya.
Bakteri itulah testamen yang menjelma.
tubuh kita?
samping rumahmu.
Ada bangku api di teras hening rumahmu,
tengah ruang tamu,
satu pintu bagi jalan pelarianku. Tentu,
sudut kamarmu: aku
bayang yang menyaru sebagai kucingmu.
harta lelah meringkuk
di laci mejamu. 500 tahun lalu pencuri itu
Kini, aku tak sudi
menunggu lagi. Aku cuma siput yang telah
cangkangnya. Aku tak akan
mencari rumah kerang yang lain. Rencana
tak bisa lagi menjaga
laci mejamu, embun tak mungkin menyapa
pagi telah kucuri.
Laci meja itu pelan-pelan mendengar suara
Pencuri itu melangkah santai
ke kamar tidurmu, membuka satu laci meja,
sendiri riwayat hidupnya.
Apa kau lupa: 500 tahun lalu, telah
mereka
bangsanya? Apa kita lupa?