Permenristek Dikti 44/2015: Sinkronisasi-Harmonisasi SPMI dan SPME (2)

Nusa Putra* Kampus Unila (ilustasi) Dari data di atas sangat terlihat betapa tersebarnya program studi yang terakreditasi C. Sangat tidak mudah untuk membinanya. 4) Banyaknya perguruan tinggi dan program studi yang bermasalah. Angka...

Permenristek Dikti 44/2015: Sinkronisasi-Harmonisasi SPMI dan SPME (2)
Kampus Unila
Nusa Putra*
Kampus Unila (ilustasi)

Dari data di atas sangat terlihat betapa tersebarnya
program studi yang terakreditasi C. Sangat tidak mudah untuk membinanya.

4) Banyaknya perguruan tinggi dan program studi yang
bermasalah. Angkanya sampai kini masih menjadi kontroversi. Namun, bila
memerhatikan PD DIKTI dan menghitung perguruan tinggi dan program studi yang
nonaktif, jumlahnya memang banyak. Status nonaktif menunjukkan bahwa perguruan
tinggi dan program studi sedang berada dalam masalah. Masalahnya sangat
beragam, mulai dari masalah administratif seperti ketidakpatuhan memberikan
data terbaru sebagai laporan ke PD DIKTI, sampai dugaan menjual ijazah.
5) Belum tumbuh kembang budaya mutu pada sebagian
besar perguruan tinggi dan program studi. Salah satu indikatornya adalah
ketidakdisiplinan dalam urusan akreditasi dan reakreditasi. Tidak sedikit
program studi yang terlambat menyerahkan borang atau dokumen untuk
reakreditasi, dan banyak sekali borang atau dokumen akreditasi yang dibuat
dengan sangat tidak cermat, bahkan sejumlah program studi membuatnya secara
asal-asalan. Isi borangnya tidak menjawab apa yang ditanyakan, dan data
kuantitatifnya tidak lengkap, tidak teliti dan tidak konsisten. Akreditasi
masih dipersepsi dan dihayati sebagai kewajiban formal yang terpaksa dilakukan.
Ketidakseriusan sejumlah program studi menjadi semakin jelas saat divisitasi.
Dokumen tidak lengkap dan para dosen tidak hadir.
Masalah-masalah di atas tidak mudah untuk diatasi.
Pada satu sisi ada kewajiban untuk meningkatkan APK. Suatu upaya secara
kuantitatif meningkatkan jumlah mahasiswa. Mungkin, kondisi inilah yang memicu
perguruan tinggi berlomba membuka program studi baru.
Bersamaan dengan itu perguruan tinggi dan program
studi dipacu untuk meningkatkan mutu. Oleh karena hanya perguruan tinggi dan
program studi bermutu yang bisa melahirkan sumber daya bermutu menghadapi
persaingan global dan perubahan sangat cepat yang memunculkan ketidakpastian
masa depan.
Sangat tidak mudah mengatasi dua hal yang menunjukkan
arah yang berbeda. Peningkatan APK mengharuskan peningkatan daya tampung secara
kuantitatif dengan segala resikonya, sedangkan peningkatan mutu merupakan pekerjaan
dalam ranah kualitatif terkait peningkatan proses dan hasil serta kemungkinan
penyerapan dalam dunia kerja dan industri yang membutuhkan sumber daya manusia
yang kompeten, profesional, dan bermoral baik.
Sungguh dilema yang sangat sulit untuk diatasi.
Perguruan tinggi dan program studi benar-benar berada di persimpangan jalan.
Salah pilih dan bertindak bisa berakibat fatal dalam jangka panjang.
Idealnya jumlah APK dan mutu sama-sama meningkat.
Tetapi pastilah tidak mudah untuk mencapainya. Sebab peningkatan APK tidak sama
cara kerjanya dengan peningkatan mutu. Bahkan pada tingkat tertentu bisa
bertentangan.
Ketidakcocokan rasio mahasiswa: dosen dengan standar
yang ditetapkan Pemerintah, yang terjadi pada banyak perguruan tinggi dan
program studi ada kaitannya dengan meningkatkan jumlah mahasiswa demi
peningkatan APK. Peningkatan mahasiswa yang tidak diikuti dengan peningkatan
jumlah dosen, sarana dan prasarana pastilah menurunkan mutu proses dan hasil
belajar.
Dalam kaitan inilah upaya-upaya menumbuhsuburkan
budaya mutu yang sudah dimulai sejak lama harus terus diintensifkan agar
perguruan tinggi dan program studi bisa memenuhi standar minimal yang
diamanatkan Permenristekdikti 44/2015 dan secara bertahap mampu melampauinya.
Kini memenuhi dan melampuai standar minimal itu merupakan keniscayaan.
Sangat banyak kendala dan hambatan yang membuat
upaya-upaya itu sangat sulit dilaksanakan. Salah satunya adalah
ketidaksingkronan SPMI dan SPME. Tidak sedikit perguruan tinggi dan program
studi merasa terbebani karena bekerja dua kali. Melakukan SPMI, kemudian
melakukan persiapan untuk melakukan SPME yang dilaksankan oleh BAN PT.
Beban itu dirasakan karena ketidaksingkronan antara
SPMI dengan SPME. Padahal dalam aturan yang ada seharusnya keduanya bisa saling
isi dan memperkuat.
Permendikbud 50/2014 Tentang Sistem Penjamin Mutu
Pendidikan Tinggi pada Pasal 1 dinyatakan,
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Mutu pendidikan tinggi adalah tingkat kesesuaian
antara penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan Standar Pendidikan Tinggi yang
terdiri atas Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Standar Pendidikan Tinggi
yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
2. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi adalah
kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana
dan berkelanjutan.
3. Sistem Penjaminan Mutu Internal yang selanjutnya
disingkat SPMI, adalah kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi oleh
setiap perguruan tinggi secara otonom untuk mengendalikan dan meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan.
4. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal, yang selanjutnya
disingkat SPME, adalah kegiatan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan
kelayakan dan tingkat pencapaian mutu program studi dan perguruan tinggi.
Mekanisme Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
dijelaskan pada
Pasal 3
(1) Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi terdiri
atas:
a. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI); dan
b. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME).
(2) SPMI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan,dan dikembangkan oleh perguruan
tinggi.
(3) SPME sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, dan dikembangkan oleh BAN PT dan/atau
LAM melalui akreditasi sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(4) Luaran penerapan SPMI oleh perguruan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh BAN-PT atau LAM untuk
penetapan status dan peringkat terakreditasi perguruan tinggi atau progam
studi.
Pasal-pasal di atas secara tersurat dan gamblang
menegaskan bahwa:
1) Terdapat tiga acuan mutu pendidikan tinggi yang
harus digunakan, ketiganya harus bersesuaian yaitu Standar Pendidikan Tinggi,
Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) dan Standar Pendidikan Tinggi yang
Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. Maknanya, perguruan tinggi harus memenuhi
standar minimal yang telah ditetapkan dalam SNPT dan sepenuhnya diberi
kebebasan untuk menyusun standar sendiri secara otonom untuk melampaui SNPT.
Namun, standar-standar itu harus bersesuaian. Bersesuaian itu bermakna boleh
tidak sama persis, tetapi tidak boleh bertentangan.
2) Terdapat empat ungkapan kunci dalam sistem
penjaminan mutu pendidikan tinggi yaitu sistemik, meningkatkan mutu, berencana
dan berkelanjutan. Tujuannya jelas yaitu meningkatkan mutu. Sistemik,
berencana, dan berkelanjutan menunjukkan keharusan dirumuskannya program dan
kegiatan yang akhirnya melahirkan budaya mutu. Meningkatkan mutu mustahil dapat
dilakukan jika tidak berkelanjutan. Berkelanjutan itu pada mulanya memunculkan
pembiasaan, kebiasaan, tradisi, dan akhirnya budaya. Budaya sebagai kata kerja
yang menekankan integrasi antara pikiran konseptual yang teruji dan tindakan
nyata yang terstruktur dan terukur. Dengan demikian peningkatan mutu melekat
erat dalam semua kegiatan yang dilakukan.
3) Perguruan tinggi diberi kebebasan untuk merumuskan
sistem penjamin mutunya (SPMI) sesuai dengan kenyataan perguruan tinggi. Sistem
itu harus menjamin dan memastikan bahwa perguruan tinggi dengan melaksanakan
budaya mutu bisa memenuhi standar minimal sebagaimana dirumuskan dalam SNPT dan
secara bertahap berkelanjutan melampauinya. Untuk dapat melampauinya, perguruan
tinggi seyogyanya memerhatikan apa yang dirumuskan dalam SNPT yang secara rinci
diatur dalam Permenristekdikti 44/2015.

4) SPMI dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu
yang bermuara pada pencapaian hasil maksimal saat dinilai dalam rangka SPME.
Pencapaian hasil maksimal, apalagi mampu melampaui standar SPME menegaskan
bahwa peguruan tinggi dan prodi melaksanakan SPMI dengan baik, objektif, dan
bermakna. Dalam kaitan inilah perlunya sinkronisasi SPMI dengan SPME. Perguruan
tinggi dan program studi harus menyadari betul bahwa melaksanakan SPMI adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari SPME.
Dalam kaitan inilah perlunya SPMI dan
SPME secara konsisten mengacu dan mengimplementasikan SNPT. Harus diakui
sebagian besar perguruan tinggi dan program studi masih mengalami kesulitan,
hambatan, dan kendala untuk memenuhi standar minimal sebagimana tampak dari
hasil akreditasi yang dilakukan oleh BAN PT. Oleh karena itu penting bagi
perguruan tinggi dan program studi untuk secara bertahap berkelanjutan, dalam rentang
waktu yang ditentukan sendir, kapan waktunya memenuhi syarat minimal itu, dan
kapan mulai berupaya untuk melampauinya.
*Dr. Nusa Putra adalah staf pengajar UNJ