PDL dan Kopi Institut Gagas Kota Pusaka di Lampung
TERASLAMPUNG.COM – Pusat Dokumentasi Lampung (PDL) dan Kopi Institute menggelar diskusi budaya bertajuk “Mengkaji Kota Pusaka di Lampung”, di Sekretariat Pusat Dokunentasi Lampung, di Bandarlampung, Selasa (27/9/2016). Hadir sebagai...
TERASLAMPUNG.COM – Pusat Dokumentasi Lampung (PDL) dan Kopi Institute menggelar diskusi budaya bertajuk “Mengkaji Kota Pusaka di Lampung”, di Sekretariat Pusat Dokunentasi Lampung, di Bandarlampung, Selasa (27/9/2016). Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut: Kabid Kebudayaan Disdik Lampung, Kepala Museum Lampung Zuraida, Frieda Amran, dan Staf Ahli Bupati Lampung Timur, Iwan Nurdaya Djafar.
Marzuki, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dak Kebudayaan Lampung, mengaku pesimistis kebudayaan masyarakat Lampung dapat menjadi satu padu sehingga menjadi Kota Pusaka. Tapi sebagai sebuah gagasan dan diskursus harus terus didorong dalam sebuah wadah bersama yang pada akhirnya melahirkan sebuah produk.
“Jangan samakan Lampung dengan Jawa. Karena di Lampung banyak kerajaan kecil dan menurut sejarah, sama-sama berasa lebih gagah. Apabila berbicara ada penyimbang Langkapura, di Labuhan Ratu ada penyimbang juga, jadi susah ketemu untuk menyatukan,”ungkapnya.
Marzuki menyayangkan Lampung termaksuk aerah yang tertinggal dibanding lainnya, karena kurang difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat. Ia mencontohkan Lampung Timur, yang tren dengan “budaya begal” akibat dampak sosial dari kebijakan pemda di masa lalu.
“Tertinggal bukan karena otak, tapi kurang difasilitasi. Mudah-mudahan ke depan bisa lebih baik,”ungkapnya.

Meskipun begitu, Marzuki sepakat untuk melestarikan budaya Lampung untuk kedepannya dengan melibatkan seluruh elemen di masyarakat.
“Kami di birokrasi ada aturan main dan untuk menjembataninya agak sulit guna mendorong anggaran pemerintah dan pertanggungjawabannya juga agak sulit. Di kepemimpinan Pak Ridho saat ini Pemprov Lampung berkeinginan kuat mendorong pelestarian budaya sebagai rintisan leluhur dapt dijadikan referensi bagi penerusnya, sehingga problem problem dalm upaya tersebut dapat dicarikan solusi terbaiknya,”ungkapnya.
Sementara itu, Kepala UPTD Museum Lampung, Zuraida Kherustika, mendukung membuat Kota Pusaka. Tujuannya bisa untuk kepentingan pariwisata atau sebagai jati diri Lampung.
“Untuk arsitektur atau bangunan masa kolonial di Lampung masih menjadi milik masyarakat dan belum ada yang dikelola pemerintah satupun. Kondisi sangat memperihainkan untuk lokasi ada 9 prasasti dikebun masyarakat,”ujarnya.

Menurutnya, Lampung memiliki 102 situs purbakala, baik Prasejarah sampai kolonial Belanda, misalnya yang prasasti yang berada Pugung Rahardjo, Tanggamus. Bahkan ada juga yang berada di tengah kota, misalnya di Kedamaian, yakni Situs Ratu Dibalau yang telah dinyatakan sebagai peninggalan purbakala.
“Perlu adanya perhatian dari Wali Kota Bandarlampung terkait kondisi peninggalan sejarah maupun budaya,”ungkapnya.
,
Terpisah, Ketua Komunitas Numismatik Indonesia, Diding Sudrajat, menegaskan bahwa berbicara Lampung untuk menjadi kota pusaka itu agak keliru dan ngeri karena disana terdapat regulasi batasan. Karena dinamik kota itu tidak ada nurani, apabila ada kaum pemodal masuk, maka masyarakat akan tersingkir.
Namun, Apabila Lampung dikatakan Negeri Pusaka, maka itu tidak ada batasan, karena melalui hati pikiran dan jiwa sehingga membuat masyarakat merasa saling memiliki.
Jadi, apabila melihat konsep Kota Pusaka, maka persoalan ini tidak akan pernah dapat terselesaikan. Sekarang, bagaimana menciptakan negeri pusaka Ruwa Jurai yang terdiri dari 15 kabupaten/kota, sehingga tidak ada lagi pembeda di dalamnya, apakah itu orang Pringsewu, Pesawaran, Komering, Banten dan lainnya yang tinggal di Lampung.
“Wadah itu nantinya bisa diciptakan dengan sendirinya. Karena budaya bukan milik masyarakat tapi melalui hati, pikiran dan jiwa,”ungkapnya.
Antropolog Frieda Amran yang mengawali diskusi ini mengajak untuk membayangkan pembentukan kota wisata di Lampung apakah melalui warisan (heritage) budaya indonesia atau tradisi maupun kepercayaan sekelompok manusia terhadap sejarah.

“Secara Implisit termaksud bahwa tradisi merupakan hasil karya yang diturunkan secara turun temurun atau meneruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Namun, Unesco, tidak memberikan defenisi, apakah itu berupa benda atau bukan benda,” kata antropolog yang puluhan tahun tinggal di Belanda ini.
Menurut Frieda, heritage dibagi menjadi dua kelompok, yakni kultural dan natural. Namun, dalam implementasian di Indonesia, warisan atau heritage ini jarang sekali digunakan dan lebih cenderung memakai kata-kata pusaka.
“Saya pernah protes juga soal istilah pusaka, karena pengertiannya terkait harta benda yang ditinggalkan atau diwariskan orang sudah meninggal atau barang diturunkan dari nenek moyang, seperti keris pusaka dimana didalamnya dianggap sakti atau kramat,”ungkapnya
“Di sisi lain, apakah benda warisan itu merupakan yang dipakai dalam keseharian oleh orang Indonesia? Misaknya terompah yang biasa digunakan ketika mau masuk WC?Apakah itu tidak dilestarikan dan menjadi tidak menarik karena tidak sakti? Padahal, itu menjadi identitas bangsa Indonesia saat mau masuk ke kamar mandi dengan memakai terompah,”kata dia.
Namun, menariknya di sini, kata Frieda, terompah masuk dalam musem Belanda saat ada pameran pakaian keseharian seperti batik atau kain. Kemudian tiba-tiba di sana juga terdapat terompah.
“Meskipun kita melihat konteksnya tidak benar, tetapi di sana ada terompah. Berarti di sini ada perbedaan cara pakai terompah dan budaya mereka telah tercampur dengan Indonesia saat penjajahan dulu,”ucapnya
Frieda juga mencontohkan, pada zaman penjajahan dulu masyarakat Lampung sangat dikenal sebagai pemburu hebat di seluruh Hindia Belanda. Orang Lampung berburu dengan memakai jerat dan membuat lubang untuk menangkap gajah atau Harimau. Namun, sayangnya sekarang tidak ada lagi orang yang mengetahui berapa jerat dalam lubang itu dan berapa banyak bambu yang diletakkan di bawahnya.
“Apakah pusaka hanya benda? Defenisinya lumayan sulit. Dan peralatan itu sebagian telah hilang termakan waktu,”ungkapnya.
Selain itu, Bandarlampung sendiri memiliki bangunan rumah Daswati yang telah berdiri sejak jaman kolonial Belanda yang bisa dijadikan icon Kota Tapis Berseri untuk menarik minat Wisatawan lokal maupun asing.
Namun, sayangnya belum adanya kesadaran dari pemerintah ataupun masyarakat sekitar untuk menjadikan Bandarlampung sebagai kota Pusaka.
“Kalau itu dikembangkan, maka Indonesia akan menjadi daya tarik untuk wisatawan, dimana setiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda,”ucapnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Kabupaten Lampung Timur, Iwan Nurdaya Djafar mengatakan bahwa pelestarian budaya Lampung dapat di kembangkan seperti membuat cagar budaya, dimana setiap masyarakat yang tinggal di Bumi Ruwai Jurai terlihat seragam.
“Jangan berpikir dulu untuk mendapatkan PAD. Bahkan sekarang ini, Bandarlampung terkenal dengan sejuta ruko, akhirnya untuk peluang bisnis,”ungkapnya.
Selain itu, partisipasi dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjadi aktor utama pelestarian budaya dan pemerintah daerah sebagai fasilitatornya.
“Merujuk pelestarian, kebudayaan merupakan sesuatu yang bergerak, bukan hanya menyelamatkan hasil masa lalu manusia dengan menambah sentuhan khusus,”ungkapnya.
Jadi, masyarakat jangan menangkap melestarikan itu secara mentah-mentah, tetapi lihat konteksnya juga agar segera menjadi cagar budaya seperti rumah Daswati yang telah ada jaman kolonial Belanda di lokasi Lapangan Enggal.
“Bundaran Tugu Gajah (Tugu Adipura) itu sudah tidak lagi mempunyai nilai historis. Padahal, dulu itu namanya Simpang Ampek (simpang empat). Pada tahun 1980 an, ada empat rumah orang Bengkulu yang berada di pinggir Simpang Ampek. Sekarang istilah itu hilang dan Wali Kota Bandarlampung selalu membuat even di Bundaran Tugu Gajah yang mengakibatkan lalu lintas masyarakat terganggu,”ungkapnya.
TL/Rls













