Musuh Besar

Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Setiap hari kita disuguhi berita tentang peperangan antara Rusia dengan Ukraina. Dua negara saling memberitakan kemenangannya di medan perang. Bagaimana kedahsyatan persenjataan mere...

Musuh Besar

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Setiap hari kita disuguhi berita tentang peperangan antara Rusia dengan Ukraina. Dua negara saling memberitakan kemenangannya di medan perang. Bagaimana kedahsyatan persenjataan mereka pertontonkan, bahkan saat senjata itu digunakan untuk menghancurkan musuh, namun tidak satu pun di antara mereka menampilkan akibat perang. Jika itu ada hanya untuk menarik simpati negara lain guna membantu “persenjataan” untuk membuat penderitaan baru bagi keduanya. Bagaimana ambisi pemimpin kedua negara dipertontonkan kepada dunia, yang tidak pernah menampilkan sisi gelap akibat pertarungan mereka berdua.

Pada belahan lain dunia ini, ada peristiwa bagaimana ketersinggungan harga diri yang membuat satu institusi harus terkena akibatnya. Posisi sulit harus dihadapi oleh bawahan, tidak menurut perintah atasan, adalah pelanggaran berat. Sementara mengikuti perintah juga berakibat fatal karena dianggap sebagai pelanggaran etika profesi. Posisi “maju kena, mundur kena” ini membawa korban yang cukup besar, lebih dahsyat lagi akibat langsung yang berimbas pada “masa depan” keluarga menjadi runtuh berkeping keeping, sementara membangunnya tidak terbilang tahun telah dilalui.

Ada juga yang berskala kecil tetapi berakibat panjang kepada masa depan; yaitu saat menghadiri undangan dinas, apapun bentuk pertemuannya, yang biasa diberi label rapat; sangat jarang sekali bisa memenui khorum tepat pada waktunya; apalagi jika pertemuan itu tidak berdampak langsung kepada marwah pribadi, sejuta alasan ditampilkan, seribu dalih disampaikan. Berbeda dengan saat undangan “kendurian” atau ngariung; ada perasaan tidak enak kalau tidak datang, tidak jarang hal kecil ini dibela sampai mengorbankan waktu yang lebih besar. Diupayakan hadir sebelum waktu dimulai, sementara rapat bisa hadir setelah selesai, karena tinggal membaca resume rapat.

Rentetan di atas akan semakin panjang jika kita mau menelisik peristiwa demi peristiwa. Namun sebenarnya ada esensi yang tampaknya memiliki kemiripan satu dengan yang lain, yaitu masalah berdamai dengan diri sendiri. Banyak diantara kita mampu mendamaikan pertikaian orang lain atau dengan orang lain, namun saat bertikai dengan diri sendiri, kita selalu mendapatkan kegagalan.

Ini sudah diingatkan oleh utusan Tuhan yang mulia beberapa ratus tahun lalu saat mengatakan bahwa perang Badar yang begitu besar itu masih kecil, karena ada perang yang lebih besar lagi harus dihadapi yaitu perang melawan hawa nafsunya sendiri. Pernyataan ini begitu menohok dan tidak lekang oleh waktu dan lapuk oleh jaman. Sabda itu menjadi abadi sampai manusia terakhir nanti penunggu bumi.

Ini menunjukkan kebenaran bahwa lawan kita atau musuh besar kita itu bukan orang lain, akan tetapi diri kita sendiri; diantaranya ialah sikap menunda-nunda, egoism,. gaya hidup yang tidak sehat, malas untuk terus mengasah diri, dan sifat sifat negative lainnya. Jika kita mau jujur musuh besar ini selalu muncul setiap saat dan setiap hari, sampai kita menyadari bahwa itu musuh kita. Sayangnya kesadaran datangnya selalu terlambat, dan keterlambatan itu adalah penyesalan yang berkepanjangan.

Oleh karena itu, peringatan awal dari Rasul terakhir utusan Tuhan di atas menyatakan bahwa ada tiga musuh yang nyata, yang harus kita perangi yaitu: Kebodohan, Kemiskinan, dan Penyakit. Ketiganya memiliki makna yang hakiki, kebodohan bukan hanya dalam pengertian intelektual, akan tetapi lebih dari itu ialah bodoh terhadap diri sendiri. Banyak diantara kita memintarkan orang lain bisa sukses, tetapi memintarkan diri sendiri belum tentu berhasil. Sesulit sulitnya memintarkan orang lain, ternyata lebih sulit lagi adalah memintarkan diri sendiri.

Kemiskinanpun bukan dalam pengertian hanya harta benda, akan tetapi lebih jauh dari itu ialah miskin yang berkaitan dengan kesejahteraan rohani kita. Bisa jadi si kaya dalam pengertian harta atau jasmani, tetapi ternyata miskin rohaninya. Demikian halnya dengan penyakit, bisa jadi kita sehat dalam arti fisik, namun sejatinya sakit dalam pengertian rohaniah. Lebih parah lagi jika kita tidak menyadari bahwa diri kita sebenarnya bodoh, miskin, dan berpenyakitan dalam pengertian hakiki, bukan bermakna harfiah. Sempurnalah kesesatan kita di dunia ini jika itu terjadi. Hanya rahmat Tuhan saja yang mampu mengembalikan ke jalan yang benar.

Selamat merayakan Hari Kemerdekaan Negeri Kita, semoga kemerdekaan itu betul betul dapat memerdekakan kita semua dari kebodohan, kemiskinan, dan penyakit; baik dalam arti harfiah maupun dalam arti hakiki. Merayakan hari kemerdekaan tidak selesai pada bilangan tahun, lebih jauh dari itu adalah merayakan secara hakiki dalam sanubari.

Selamat menikmati kopi pagi!