Musim Rektor Menjadi Tersangka

Oleh Syarief Makhya Setelah Rektor Universitas Lampung (Unila) terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi, kini giliran Rektor Universitas Udayana (Unud I Nyoman Gde dijerat sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi Sumbangan...

Musim Rektor Menjadi Tersangka
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Setelah Rektor Universitas Lampung (Unila) terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi, kini giliran Rektor Universitas Udayana (Unud I Nyoman Gde dijerat sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru, yang menyebabkan kerugian hingga Rp 443,9 miliar. Awalnya Rektor Unud itu memungut sejumlah uang dari mahasiswa baru Unud jalur mandiri dari tahun akademik 2018/2019 sampai 2022/2023 yang tidak memiliki dasar hukum. Beberapa fakultas di Unud tidak mewajibkan para mahasiswanya menyetorkan sejumlah uang untuk pembayaran SPI.

Atas kejadian rektor menjadi tersangka, citra perguruan tinggi menjadi rusak dan wajah pendidikan tercoreng. Apakah fenomena ini, bisa disimpulkan kalau integritas PT sudah rusak? Dalam sebuah kesempatan saya berada dalam komunitas akademis di sebuah seminar, saya sempat ngobrol dengan teman-teman saya di PTN lain. Mereka bercerita bahwa OTT Rektor Unila itu karena sang rektor hanya apes saja. Artinya, sebenarnya suap penerimaan mahasiswa baru di PT itu bukan hal yang baru hampir setiap PT juga terjadi budaya titip menitip masuk ke PT. Hanya kategorinya ada yang vulgar secara terang-terangan menyogok dengan nilai yang fantasis, ada karena hubungan pertemanan, keluarga, atau kedekatan dengan penguasa.

Publik sering mempertanyakan: kurang apa lagi tunjangan, penghargaan dan penghormatan terhadap jabatan untuk seorang rektor? Rektor umumnya bergelar doktor, berpangkat guru besar, tungjangan yang diterima cukup besar. Belum lagi fasilitas lain seperti rumah jabatan, mobil dinas, fasilitas protokoler, dan fasilitas-fasilitas lain. Dengan kecukupan tungjangan, gaji,  dan fasilitas sebenarnya rektor seharusnya benar-benar mengemban amanah untuk mendedidekasikan pikiran dan waktunya dalam membangun moral akdemik dan berkompetisis memajukan universitasnya. Namun, karena moralitasnya tidak terjaga, akhirnya jatuh pada harkat martabat yang paling rendah menjadi orang terhina dan pupus segala atribut yang melekat dalam dirinya.

Fenomena rektor korupsi tentu bukan karena lemahnya integritas semata, tetapi juga ada aspek regulasi yang relatif longgar yang memungkinkan terjadinya celah penyalahgunaan kewenangan. Dalam regulasi tersebut, tidak diatur secara ketat standar operasional prosedur bagaimana pengawasan dilakukan, tidak transparan dan masih berlindung di bawah kewenangan rektor untuk mencari keuntungan-keuntungan finansial yang ilegal.

Ada pemusatan kekuasaan di tangan rektor, peran senat dibatasi hanya sebatas melakukan fungsi senat akademik, tidak ada lagi fungsi pengawasan yang dilakukan oleh senat. Sementara SPI berada di bawah bayang kewenangan rektor, akibatnya tidak punya nyali dalam melakukan pengawasan; lembaga ini hanya melaksanakan fungsi administrasi pengawasan, melaporkan temuan, dan melakukan saran perbaikan administrasi keuangan.

Faktor lain yaitu hilangnya budaya kritis di internal kampus. Tidak terdengar lagi dari sebagaian kecil dosen dan aktivis mahasiswa yang melakukan koreksi, aksi-akasi demonstratif, atau keberanian untuk menyampaikan gagasan-gagasan otoritatif yang bisa mempengaruhi dan membangun opini publik terhadap berbagai penyimpangan baik di internal kampus atau terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip kesetujuan rakyat.

Sebuah contoh penyampaikan gagasan atau otoritatif sangat penting dan menentukan posisi dan sikap keputusan yaitu dalam kasus ketika PN Jakarta Pusat memutuskan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024; bisa dibayangkan kalau putusan dan argumen itu tidak dibantah dan dipatahkan oleh Prof. Jimly, Prof. Mahfud, Prof. Yusril dan para ahli hukum yang lainnya. Di sinilah arti penting para ahli dan para pakar menyampaikan pendapat dan fungsi kritisnya.

Sekarang di internal kampus tidak terbangun nyali dan keberanian untuk menyampaikan gagasan otoritatif tersebut; sebagian besar dihantui rasa takut, kehawatiran yang berlebihan kalau berulah menentang kebijakan rektor, khawatir kenaikan pangkatnya terhambat, tidak memperoleh kesempatan untuk menduduki jabatan struktural atau tidak memperoleh dana penelitian, dst.

Potensi Menjadi Tersangka

Adanya pemusatan kekuasaan ditangan rektor, lemahnya sistem kontrol, aturan/regulasi yang masih ada celah bisa disalahgunakan dan hilangnya budaya sikap kritis serta lemahnya keberanian menyampaikan pendapat yang otoritatif, potensi munculnya tersangka baru rektor terjerat dalam kasus korupsi akan selalu terbuka atau suap, gratifikasi, dan nepotisme yang sifatnya tersembunyi juga akan tetap berlangsung.

Sebutan hanya apes saja rektor – rektor yang jadi tersangka, adalah ungkapan bahwa praktek – praktek nakal dalam penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri sudah biasa dilakukan.

Bagaimana jalan ke luar untuk mencegah praktek suap, gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan mahasiswa baru ? Sikap yang realistis, antara lain harus dibentuk kelompok dosen kritis dari berbagai disiplin ilmu, jumlahnya tidak perlu banyak, ada sepuluh orang saja yang getol mengawasi, mengkritisi, mengkoreksi dan berani menyampaikan sikap kritisnya kepada publik akan berpengaruh besar terhadap kontrol dosen kepada kebijakan rektor.

Hal lain, tranparansi dan SOP penerimaan mahasiswa baru harus dievaluasi. Data harus biasa diakses oleh publik, sistem operasional prosedur penerimaan mahasiswa baru harus bisa dikontrol dan pengambilan keputusan penerimaan mahasiswa baru tidak boleh lagi dintervensi oleh kepentingan rektor.

Last but not least, Mendikbud harus segera mengevaluasi sistem penerimaan mahasiswa baru yang bisa bebas dari kepentingan intervensi dari luar, seperti dari partai politik, ormas, pejabat dan pengusaha. Namun, evaluasi terhadap sistem penerimaan mahasiswa baru ini tidak berdiri sendiri, tapi ada kaitan dengan sistem pemilihan rektor. Campur tangan Mentri memiliki hak suara sebesar 35 % berdampak figur rektor terpilih menjadi tidak ideal baik dari sisi kapasitas kepemimpinannya maupun dari aspek integritas dan sarat dengan kepentingan politis.***

*Dr. Syarief Makhya, akademisi FISIP Unila