Mister of Rancu
Oyos Saroso H.N. Mister of Rancu atau ditulis Mr. Rancu bukanlah nama orang, apalagi bule bergelar PhD atau Master of Art (MA). Ia adalah istilah seloroh yang pernah dilontarkan kawan saya di Lampung Post, Heri Wardoyo. Heri mungkin sudah tidak ing...

Oyos Saroso H.N.
Mister of Rancu atau ditulis Mr. Rancu bukanlah nama orang, apalagi bule bergelar PhD atau Master of Art (MA). Ia adalah istilah seloroh yang pernah dilontarkan kawan saya di Lampung Post, Heri Wardoyo. Heri mungkin sudah tidak ingat kapan ia melontarkan seloroh itu. Tapi saya masih ingat: Heri melontarkan istilah itu dengan nada datar, nyaris tanpa perubahan air muka, dan agak serius.
Mister of Rancu dipakai Heri untuk menggambarkan seorang kawan yang logika berpikirnya sering jungkir balik tidak keruan. Ya, kawan kami itu sejenis makhluk yang bergelar mentereng, tetapi kalau diskusi atau berbicara logikanya tidak menggambarkan gelar yang disandangnya. Terkadang terlalu naif, sangat tidak masuk akal, bahkan infantil.
Dulu Mister of Rancu hanya kami (saya dan Heri Wardoyo) yang tahu. Istilah itu (dengan jahatnya) kami terakan kepada seorang kawan. Kawan kami tidak tahu bahwa dia kami juluki Mister of Rancu. Ia kami juluki Mr. Rancu karena di antara kawan-kawan lain, dialah yang logikanya sering rancu.
Mr. Rancu pun lenyap dalam kosa kata di antara kami seiring dengan kesibukan kami masing-masing. Apalagi Heri yang kini sudah supersibuk sebagai pejabat di Kabupaten Tulangbawang. Saya setengah yakin ia sudah lupa soal Mr. Rancu. Namun, seandainya hari ini kami bertemu dan diskusi dengan logika jungkir balik sambil mengingat kawan kami yang kami juluki Mister of Rancu, saya yakin Heri pun akan tertawa tergelak-gelak.
Jauh sebelum bertemu Heri pada 1997 (karena saya pindah kerja ke Lampung, menggantikan Heri sebagai redaktur opini di Lampung Post) saya sebenarnya sudah mengenal pengertian logika rancu lewat buku wajib Filsafat Ilmu karya Prof. Jujun Suriasumantri. Prof Jujun termasuk guru besar kebanggaan kami di IKIP Rawamangun pada era 80-an. Ia menulis buku pengantar filsafat dengan sangat renyah, dengan contoh-contoh yang bikin mahasiswa tersenyum.
Salah satu contoh logika berpikir rancu sehingga menghasilkan penarikan kesimpulan yang salah adalah soal kambing dan banjir. Kira-kira Pak Jujun menulis begini: Banyak kambing kencing di Bogor. Jakarta lebih rendah dibanding Bogor. Kesimpulannya: Banjir di Jakarta disebabkan banyak kambing di Bogor kencing bersam-sama.
Tentu saja kesimpulan itu tidak masuk akal. Kesimpulan serupa itu bisa (dan boleh) diambil oleh Si Fulan, anak berusia 5 tahun, yang belum lurus penalarannya. Namun, akan menjadi aneh jika kesimpulan serupa itu dibuat oleh Prof. Dr. Fulan, Phd, lulusan universitas ternama di Amerika.
Dalam praktik sehari-hari, baik di dunia ketatanegaraan, politik, pendidikan, seni-budaya, maupun praktik bermasyarakat yang remeh temeh di sekitar kita, Mr. Rancu sebenarnya selalu ada. Ia tidak saja kerap merancukan tatanan sebuah sistem, tetapi juga kerap berpikir berdasarkan ukurannya sendiri, ukuran kelompoknya saja, dan demi kenikmatn syahwat kepentingannya saja.
Kalau tak ada Mr. Rancu niscaya Indonesia akan makmur sejak zaman dahulu kala. Tanpa banyak Mr. Rancu, barangkali, Indonesia tak perlu lembaga KPU, Panwaslu, SKK Migas, Kementerian Perikanan dan Kelautan, dll. Sebab, semua sistem akan berjalan dengan baik, tak ada korupsi, tak ada pejabat atau rakyat yang maunya ingin menang dan untung sendiri.
Masalahnya, agar Indonesia bebas dari Mr. Rancu sangatlah sulit. Jauh lebih sulit dibanding mengerem nafsu daya rendah manusia.
Kini, barangkali, saya pun sudah jadi Mr. Rancu.