Mirzani

Sunardian Wirodono Tentu saja orang boleh membicarakan soal Nikita Mirzani. Sembari melepas hasrat biologis dan seksisme purba kita. Tapi bagaimana bisa kita membiarkan FH dan FZ ngomong seenaknya, bahwa Kejaksaan Agung berpolitik dan melakukan conte...

Mirzani

Sunardian Wirodono

Tentu saja orang boleh membicarakan soal Nikita Mirzani. Sembari melepas hasrat biologis dan seksisme purba kita. Tapi bagaimana bisa kita membiarkan FH dan FZ ngomong seenaknya, bahwa Kejaksaan Agung berpolitik dan melakukan contempt of parliament? Bagaimana bisa kita membiarkan politikus PDIP ngomong Negara dikuasai pemburu rente, pecat Rini Soemarno, dan sumber masalah pada JK, padahal Megawati menerima JK sebagai cawapres bagi capres Jokowi? Padahal JK ngomong Negara hancur jika di tangan Jokowi?

Belum lagi jika kita bicara soal SN, SS, LBP, MRC, atau juga RR yang selalu bilang tahu siapa dibalik semua drama itu, tapi dia sendiri tak mau menyampaikan pengetahuannya. Untuk apa gembar-gembor di publik? Demi popularitas? Negara dalam kungkungan dan rongrongan mulut-mulut cablak. Dan tiba-tiba, kita disodori tubuh Nikita Mirzani?

Memangnya kita bangga, mendengar polisi berhasil membongkar mafia bisnis prostitusi online? Bagaimana dengan kerja polisi dalam menangani kasus Novel Baswedan? Soal pencatutan nama presiden oleh MRC dan SN? Soal kasus salah tembak, dan keterlibatan oknum dalam bisnis narkoba?

Kalau pun kita membahas kasus Nikita Mirzani, adakah lelaki bodoh mau (maaf) ngencuk perempuan seharga Rp 120 juta untuk short-time? Lelaki yang bisa ngeluarin duit ratusan juta untuk having-fun, tak akan segoblog itu memakai jasa pelacur, apalagi masuk ke kamar hotel.

Kalau cuma cerita perlendiran kelas gituan, mendingan nanggap petugas cleaning service di gedung parlemen kita. Tiap hari petugas kebersihan di Senayan bisa nemu beberapa kondom, yang masih basah berlendir di sembarang tempat. Politikus Senayan mending bayar Rp 500 ribu ke petugas kebersihan yang mergokin, untuk uang tutup mulut, daripada keluar duit puluhan dan apalagi ratusan juta. Toh polisi juga kagak bakal berani menggerebeg di gedung para muliawan-muliawati itu.

Para pengusaha atau pun penguasa gatel lendir, dengan uangnya yang mudah didapat dan mudah lepas, tak akan bodoh-bodoh amat jadi obyek infotainment. Mereka lebih suka model-model nikah siri, mu’tah, isteri simpenan atau apalah, dirumahkan atau minimal diapartemenkan. Kalau model politikus syariah, mending dipoligami. Apalagi bagi yang bertujuan untuk money laundry. Bayangkan, di Indonesia money laundry bisa melalui vagina.

Nangkep NM dengan pura-pura jadi customer, ngeluarin duit Rp 10 juta, bukan prestasi bagus, dan tak ada yang perlu dibanggakan. Kenapa Polisi mengeluh soal biaya operasional untuk memburu MRC? Mengapa tak bertindak soal SN, HR (FPI) yang menghina presiden, dan sibuk memburu para netizen abal-abal, atau para pemodifikasi motor kere?

Menyoroti parlemen dan polisi, dua lembaga dengan kepercayaan terendah dari masyarakat ini, lebih penting dibanding ngurusin soal NM. Kecuali kita serius ngomongin soal human trafficking, atau kalau pun mau infotaintmen; setidaknya soal politik lendir anggota parlemen kita. Baru kita nyamleng mirsani.