Maling Jangan Ngundang Jokowi

Nusa Putra* Kekuasaan adalah magnet penuh pesona. Bisa menarik dan mengumpulkan apa dan siapa saja di sekitarnya. Kekuasaan adalah hidangan mewah yang mengundang selera, dan memancing siapa pun untuk ikut pesta menikmatinya. Kekuasaan adalah gula-gu...

Maling Jangan Ngundang Jokowi

Nusa Putra*

Kekuasaan adalah magnet penuh pesona. Bisa menarik dan
mengumpulkan apa dan siapa saja di sekitarnya. Kekuasaan adalah hidangan mewah yang mengundang selera, dan memancing siapa pun untuk ikut pesta menikmatinya. Kekuasaan adalah gula-gula yang rasa manisnya bisa membuat siapa pun lupa diri.

Wajar jika kekuasaan dan penguasa selalu dikelilingi oleh berbagai orang dan kelompok kepentingan yang berebut keuntungan. Seringkali dengan menghalalkan segala cara.

Pada era Suharto sangat banyak pengusaha yang mengitarinya.
Tentulah yang paling menonjol ialah Om Liem yang menjadi konglomerat dan bisnisnya sangat beragam. Dari terigu sampai semen. Dari mie instan sampai mobil. Dari sambel botol sampai jaringan perbankan. Ada pula Bob Hasan yang merambah hampir semua hutan. Probosutedjo yang merupakan adik tiri Suharto juga ikutan. Tidak ketinggalan anak-anak Suharto sendiri.

Cermati Golkar. Dari dulu kelompok penentunya adalah para
pengusaha pada berbagai tingkat. Koalisi penguasa-pengusaha inilah yang sangat menentukan arah berbagai kebijakan yang diambil pemerintah.

Kedekatan pengusaha dengan penguasa pastilah memiliki tujuan
saling menguntungkan. Penguasa harus ditopang oleh partai politik. Partai politik butuh dana. Pengusaha datang untuk mengusahakan dana. Pastilah bukan sedekah atau infak yang diberikan dengan ikhlas. Bagi para pengusaha, interaksi ini sifatnya transaksional. Pastilah yang dicari keuntungan.

Keuntungan didapat melalui akses, kesempatan, fasilitas dan
jatah melaksanakan sejumlah program pemerintah. Kekuasaan bisa berikan semuanya. Tentu tidak gratisan. Ini sepenuhnya transaksi yang saling menguntungkan. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? Apakah rakyat? Atau hanya si penguasa dan pengusaha?

Biasanya bila sang penguasa turun panggung, si pengusaha juga
bisa terganggu atau beralih ke penguasa baru. Om Liem ikut susah saat Suharto lengser. Bisnis Om Liem sangat terganggu, sampai-sampai rumahnya yang di Jl. Gunung Sahari dibakar massa. Om Liem lari ke Singapura dan wafat di sana. Agaknya usahanya tidaklah sebesar dan selancar zaman Suharto.

Cerita Hartati Murdaya (Chow Li Ing) lain lagi. Ia cepat beralih. Terakhir dari PDIP saat Megawati berkuasa lompat ke Partai Demokrat kala SBY berkuasa. Ujungnya masuk penjara karena menyogok bupati dalam kaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Dari kasus Siti Hartati kita mendapatkan bukti kuat bentuk hubungan penguasa-pengusaha. Kecenderungannya merupakan
transaksi demi keuntungan.

Dalam kasus korupsi yang melibatkan para politisi kita juga mendapatkan bukti-bukti kuat perihal “merampok” uang negara melalui transaksi penguasa-pengusaha. Dari kasus Nazaruddin yang saat itu bendahara Partai Demokrat, kita mengetahui bagaimana program-program pemerintah dijadikan lahan untuk mencuri. Salah satunya adalah kasus korupsi Hambalang yang melibatkan pengusaha, petinggi BUMN, dan menteri.

Mega korupsi Century juga sama. Pelakunya adalah penguasa dan
pengusaha. Kita menyayangkan KPK tidak melanjutkan penyidikan kasus ini sampai jauh. Padahal dalam persidangan nama wakil presiden saat itu yaitu Boediono sudah disebut ikut berperan.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan petinggi PDIP, GOLKAR, PKB, PAN, PKS dan Gerindra menunjukkan pola yang sama. Korupsi kekuasaan yang melibatkan pengusaha. Maling-maling kekuasaan memang selalu berusaha mendekati lingkar dalam kekuasaan. Kebanyakan mereka adalah pengusaha, pengusaha yang sekaligus pejabat, dan para pejabat yang sudah berada dalam kekuasaan.

Setiap penguasa, selalu didukung oleh para pengusaha. Beginilah
cara pengusaha dan penguasa mengeruk keuntungan yang berasal dari uang negara.

Pada era Jokowi ini kita juga melihat ada sejumlah besar pengusaha yang ikut serta. Jokowi sendiri asalnya adalah penguasa. Tak heran bila kabinetnya juga diisi oleh banyak pengusaha. Di Watimpres ada Jan Darmadi dan Rusdi Kirana. Jan Darmadi pada era Suharto terkenal dengan bisnis perjudian dan Rusdi Kirana adalah pemilik Lion Air yang kini sangat bermasalah.

Pastilah tak ada larangan para pengusaha ikut berpartisipasi
dalam politik dan pengelolaan negara. Mereka memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Namun, Jokowi harus sangat hati-hati. Bisa saja ia tidak mengundang para pengusaha yang bertipe maling, tidak mengangkat pejabat yang bertipe sama. Tetapi para maling itu yang mengundangnya.

Modus-modus mengundang itu sangat banyak. Selama orde baru modus itu bisa berupa penyusupan mereka ke dalam sektor-sektor perencaaan di departemen. Mereka ikut mengatur berbagai rencana sejak dari hulu yaitu di departemen. Tidak jarang mereka menalangi dana awalnya. Bila kita cermati kasus-kasus korupsi Nazaruddin, modus ini dilanjutkan. Kemudian mereka mendapat
dukungan dari badan anggaran di DPR. Pastilah partai politik terlibat di sini.

Dengan cara ini peran mereka tersembunyi. Karena beragam rencana departemen secara formal berasal dari tiap departemen. Padahal disusun bersama mereka.

Kajian mendalam terhadap pengembangan dan ekspansi usaha milik Om Liem dan rencana pemerintah Suharto baik berupa Pelita dan RAPBN akan memperlihatkan banyak kesejajaran. Bukan kebetulan berbagai kebijakan pemerintah terkait terigu dan semen misalnya bertepatan dengan ekspansi usaha grup Om Liem dalam bidang yang sama. Tidak berlebihan bila ada yang berpendapat pada waktu itu, bahwa rencana itu lebih banyak berasal dari Om Liem.

Kita juga tidak tahu. Apakah penandatanganan kerjasama mobil nasional yang ditandatangani pengusaha saat Presiden Jokowi berkunjung ke Malaysia beberapa waktu lalu masuk dalam modus ini?

Dalam konteks itulah harus dilihat upaya Aburizal Bakrie ngotot
menguasai Golkar. Polanya masih sama, bagaimana pengusaha mau ikut menentukan kiprah kekuasaan.

Karena Jokowi bukan Maling Kundang, maka ia jangan ngundang maling, dan juga jangan mau diundang maling.

INDONESIA HEBAT JIKA BEBAS DARI MALING-MALING KEKUASAAN.

* Dr.Nusa Putra,M.Pd, dosen UNJ. Banyak menulis buku tentang metodologi penelitian dan tema pendidikan.