Limabelas Tahun Rumah Dunia
Oleh: Toto St Radik* Rumah Dunia lahir pada tahun 2002, tapi sesungguhnya telah ada jauh sebelum itu. Gol A Gong, Rys Revolta, dan saya sama-sama telah menulis sejak di SMA 1 Serang (waktu itu namanya masih SMAN Serang). Saya dan Rys satu angkatan (1...
Oleh: Toto St Radik*
Rumah Dunia lahir pada tahun 2002, tapi sesungguhnya telah ada jauh sebelum itu. Gol A Gong, Rys Revolta, dan saya sama-sama telah menulis sejak di SMA 1 Serang (waktu itu namanya masih SMAN Serang). Saya dan Rys satu angkatan (1980-1983) dan sempat mengelola Majalah Dinding Sekolah, sedangkan Gong kakak kelas satu tahun.
Kemudian kami pergi ke Bandung. Tapi Gong lebih banyak keluyuran keliling Indonesia, sementara Saya dan Rys mereguk energi Bandung. Urusan kuliah kami sama-sama gagal. Dalam derajat tertentu bahkan “menolak” sekolah. Mungkin karena bacaan kami hampir sama: Rabindranath Tagore, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Hemingway, Mark Twain, Tan Malaka, Soe Hok Gie, Albert Camus, Sartre, Eiji Yoshikawa, Yasunari Kawabata, Alexandre Dumas, Fyodor Dostoyevsky, Franz Kafka, Paulo Freire, Ivan Illich…
Barangkali sudah takdir. Kami bertemu kembali di Serang di pengujung tahun 1987. Saat itu Gong sedang menulis serial Ballada Si Roy, sementara saya dan Rys menulis puisi seraya menjadi wartawan. Setiap pekan kami bertemu, memimpikan banyak hal. Lalu mendirikan kelompok Azeta. A-Zet-A, yang tiada berakhir. Kami menerbitkan antologi puisi dan berkeliling ke sekolah-sekolah, membincangkan sastra, jurnalistik, teater, seni, kreativitas, apa saja. Tentu saja amatiran, tanpa bayaran.
Hidup harus dilakoni. Rys ke Bogor, Gong ke Jakarta, saya tetap di Serang. Komunikasi via surat atau telepon umum koin. Saat itu belum ada telepon genggam, belum ada internet. Tahun 2000 Banten menjadi provinsi. Rys kembali ke Serang dan menjadi wartawan di Harian Banten (sekarang Radar Banten). kami bertemu banyak nama: Bagus Bageni, Asmianto Amin, Abdul Malik, Maulana Wahid Fauzi, Andi S Trisnahadi, Tias Tatanka, Dadi RsN, Ruby Ach. Baedhawy, dan entah siapa lagi. Begitu banyak nama.
Gong dan Tias akhirnya membangun rumah di Ciloang. Di halaman belakang kami sering berbincang. Seperti dulu; memimpikan banyak hal. Sanggar Sastra Serang di rumah saya di Penancangan (satu kilometer dari Ciloang) saya integrasikan menjadi poros Ciloang-Penancangan. Pergi dari dan ke kedua tempat itu harus melintasi rel kereta api. Sebuah “rintangan” yang harus kami hadapi dengan bijak. Lalu lahirlah Rumah Dunia. Rumah yang dibangun dengan kata-kata.
Hingga kini, lima belas tahun kemudian…
Relawan datang dan pergi silih berganti. Suksesi presiden sudah tiga kali: Firman Venayaksa, Ibnu Adam Aviciena alias Ade Jaya Suryani, dan Ahmad Wayang.
Tentu, banyak hal, banyak peristiwa, banyak pencapaian, banyak nama selama lima belas tahun itu, juga sebelumnya. Maafkan saya jika tak tersebutkan. Alfatihah untuk Rys Revolta, Dadie RsN, dan Ruby Ach. Baedhawy yang telah berpulang.
*Penyair
BACA JUGA: Membangun Rumah Dunia dengan Kata-Kata



