Ladas
Oleh : Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Beberapa hari lalu saat hadir dalam acara temu akbar alumni Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya di Palembang, bertemulah para sahabat yang sudah tidak muda lagi dan ti...

Oleh : Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Beberapa hari lalu saat hadir dalam acara temu akbar alumni Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya di Palembang, bertemulah para sahabat yang sudah tidak muda lagi dan tidak pernah jumpa lebih dari 45 tahun lalu. Maka hiruk pikuklah para “Ombai Akas” (nenek kakek dalam bahasa Komering). Semua ingin naik panggung “menyumbangkan” lagu: maksudnya bukan hanya bernyanyi tetapi lagu yang tadinya bagus nadanya, menjadi bernada sumbang, karena penyanyinya sudah tidak jelas melafalkan konsonan kata, dan bernapas pendek. Jadi, satu lagu yang bagus menjadi berantakan nadanya karena sumbang.
Pejabat yang hadir dari tingkat fakultas mengeluarkan candaan: “Ladas nian para senior kita ini”, dan disambut oleh seorang peserta senior yang juga ketua panitia pelaksana dengan kalimat lebih seru lagi, “Keladasan galo!”
Sontak jadi ingat banyak diksi Bahasa Palembang sehari hari yang tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Cntoh : ladas nian kau tu ketawo. Kalimat ini maknanya mirip dengan kata ‘puas’, tetapi tidak sepenuhnya karena hanya bisa di pakai pada kalimat-kalimat tertentu. Artinya kira-kira seperti ini jika dalam dialek Betwi: “Puas banget lo ketawa”.
Pada saat jeda kegiatan ada diskusi sejenak dengan Wakil Dekan Bidang Akademik yang mewakili Dekan berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dengan sistem online selama pandemik. Di sana munculah diksi-diksi Palembang. Salah satu di antaranya beliau berkomentar “Budak-budak belajar idak disiplin cenderung keladasan bemain”. Artinya: anak-anak belajar tidak disiplin cenderung senang yang kebablasan dalam bermain.
Masih banyak lagi diksi diksi yang keluar dari beliau yang sejak tahun 1988 bermukim di Palembang kata pria asli Minang yang lama bermukim di Bandung. Namun, sebenarnya tidaklah sesederhana itu memaknai suatu diksi, karena kata ladas bermakna penggambaran rasa yang sangat intens. Diksi ini bisa berkonotasi negatif jika berobjek penyerta negatif. Sebaliknya, bisa bermakna positif, jika berobjek penyerta positif.
Pada saat seorang mantan gubernur ditangkap lembaga antirasuah, yang kemudian disusul juga anaknya yang menjabat bupati, masyarakat Palembang berkomentar, “Makonyo jangan keladasan igo”. Terjemahan bebasnya: makanya jangan keterlaluan. Berbeda dengan kalimat “budak-budak itu keladasan main ujan” yang terjemahan bebasnya anak anak itu benar benar menikmati kegembiraannya main air hujan.
Menggunakan istilah dalam filsafat ilm, diksi ladas ini benar benar berada pada wilayah ontologis; yang penggunaan serta pemaknaannya baru terlihat jelas setelah ada pada wilayah epistemologi dan aksiologi. Bahasa rasa seperti ini pada masyarakat tertentu, termasuk Palembang, sering dijadikan bahan untuk mengiritik atau juga mengolok olok , perilaku yang menyimpang dari norma sosial pada umumnya.
Mereka yang paham akan bahasa rasa dan bahasa simbol seperti ini memosisikan pemimpinnya harus peka terhadap kondisi, atau maksud dari sesuatu yang disampaikan oleh yang dipimpin. Mereka yang mampu menangkap isyarat-isyarat simbol ini membuat mereka menjadi sangat hati- hati. Sebab, kalau tidak, siap-siap saja akan menjadi bahan tertawaan atau bahan gunjingan yang berkepanjangan.
Palembang yang memiliki subetnik beragam, seolah memiliki bahasa persatuan antarmereka yaitu Baso Plembang; sehingga memaksa orang lain untuk cepat beradaptasi dengan mereka melalui penggunaan bahasa keseharian mereka. Maka tidak jarang aksen masih menggunakan bahasa ibu, tetapi bahasa yang dipakai Bahasa Palembang.
Bahasa ini juga mencirikan bahwa egaliterian merupakan cara atau pandangan hidup yang hidup di tengah mereka, sehingga posisi pemimpin dengan yang dipimpin hanya sebatas ditinggikan seranting. Oleh karena itu, kebersamaan antarmereka tampak kental sekali. Tentu saja dengan segala kelemahan dan keunggulan, karena ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan sempurnanya sesuatu, termasuk sistem sosial yang dibangun oleh masyarakat.
Hal lain yang dapat dipetik sebagai pembelajaran adalah mari kita “beladasan” melakukan hal-hal yang makruf untuk kemaslahatan umat dan dunia, dan mari juga kita “beladasan” bergegas meninggalkan yang mungkar demi menjaga keselamatan umat dan dunia. Ternyata kearifan lokal banyak sekali memberikan penanda bagi kita semua. Masalahnya, mampukah kita menangkap penanda itu sehingga dapat kita petik suri teladan darinya? Wallahu a’lam.
Selamat ngopi pagi!