Korupsi di Lembaga Pendidikan

Oleh Syarief Makhya Majelis Umum PBB menetapkan setiap tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Hari anti Korupsi se Dunia dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap korupsi dan memerangi dan mencegahnya. Di Indonesia,...

Korupsi di Lembaga Pendidikan
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Majelis Umum PBB menetapkan setiap tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Hari anti Korupsi se Dunia dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap korupsi dan memerangi dan mencegahnya. Di Indonesia, uapaya untuk mencegah tindak korupsi sudah dilakukan dengan berbagai cara, antara lain secara kelembagaan, pemerintah sudah dibentuk KPK, penghasilan pejabat dan ASN sekarang lebih dari cukup, pengawasan yang dilakukan pers dan masyarakat sipil melalui media sosial terhadap korupsi semakin gencar, berbagai regulasinsudah dikeluarkan namun faktanya korupsi semakin menggila dan rasa takut untuk dijebloskan ke penjara semakin melemah.

Sampai sekarang belum ada contoh kementrian yang bebas dari KKN, bahkan belakangan ini perguruan tinggi yang seharusnya memberi contoh sebagai kementrian yang bebas dari korupsi karena PT tempatnya masyarakat terdidik yang mengajarkan moral, integritas dan perilaku yang diteladani justru praktek korupsi semakin dahsyat. Misalnya, praktik penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri yang terjadi di Unila secara terang benerang dibeberkan dihadapakan pengadilan melalui salah satu saksi bahwa benar diakui menerima suap dengan nilai sangat fantastis untuk bisa diterima di fakultas kedokteran. Suap sepertinya dianggap peristiwa biasa, tidak ada rasa malu menyatakan pengakuan terima suap dan tidak ada rasa khawatir kalau suap akan menerima resiko dijebloskan ke penjara.

Keberanian melakukan praktik suap dalam penerimaan mahasiswa baru, bisa jadi karena dianggap aman dan tidak mungkin masuk dalam ranah hukum, karena punya asumsi dan keyakinan bahwa kalau berlindung di bawah relasi dengan kekuatan dan pendukungnya baik diinternal, ormas, partai politik mapun di jaringan kekuasaan yang ada di kementrian akan terhindar dari perangkap OTT KPK.

Kenapa terjadi korupsi di lembaga pendidikan? meminjam konsep kekuasaan dari Foucault, bahwa kekuasaan ada di mana-mana; kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Dalam kasus korupsi di lembaga-lembaga publik, termasuk di PT, korupsi terjadi karena ada relasi kekuasaaan antara ormas, partai politik, dengan orang-orang yang memiliki akses di kementrian. Rektor bisa terpilih karena relasi kekuasaan tersebut. Dengan memanfaatkan penguasaan suara mentri 35%, legitimasi rektor bukan dari kekuatan suara di senat, tetapi dengan modal perolehan suara minimal atau mencukupi suara terbanyak ditambah dengan suara mentri, maka bisa terpilih jadi rektor. Namun, untuk bisa memperoleh dukungan dari ormas, anggota dewan, atau kekuatan yang lainnya bukan gratisan; hampir bisa dipastikan ada umpan balik untuk memfasilitasi kepentingan ormas dan kepentingan pribadi. Di sinilah sang rektor terpilih akan berupaya memenuhi kebutuhan kepentingan dari orang-orang yang sudah membantunya.

Sementara, untuk memperkuat kepemimpinan rektor, di internal kampus ada distribusi jabatan yang diperuntukan bagi pendukungya. Jabatan wakil-rektor, dekan, ketua LP2M, ketua LP3M dan jabatan wakil-wakil dekan, dan jabatan strategis lainnya, akan diisi oleh mereka yang akan mendukung dan berkontribusi terhadap rektor terpilih.

Dalam situasi demikian, suasana interaksi dilingkaran rektor dan pejabat-pejabat struktural akan saling mendukung, memberi legitimasi dan saling berbagi. Dalam kultur seperti tersebut, yaitu tidak ada budaya saling mongkoreksi atau saling mengkritik; semua keputusan rektor dinilai sempurna kendati ada celah yang berpotensi melanggar hukum seperti dalam kasus penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri.

Jalan Keluar?

Status sosial dengan latar belakang sosial yang berbeda, ternyata masih rentan terhadap serangan rayuan uang. Simbol pendidikan seperti gelar profesor, doktor, dan jabatan struktural ternyata masih rentan dari rayuan uang. Ada karakter serakah/tamak/rakus manusia, yang selalu merasa tidak cukup apa yang sudah dimilikinya. Cara pandang inilah kekuasaan dimaknai adalah sarana memperkaya diri.

Sementara, dari aspek sistem kelembagaan organisasi, adanya penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di PT adalah indikasi adanya ketidakberesan manajemen organisasi. Fungsi kontrol atau fungsi kritik secara fungsional tidak jalan; bisa jadi kalau melakukan kontrol, saran atau kritik dianggap tidak loyal pada pimpinan atau ada rasa takut yang berlebihan karena ada ancaman kenaikan pangkat dihambat. Dalam perspektif ini lenyapnya kemampuan untuk mengkritik dan mengontrol, suburnya budaya sungkan, dapat mempengaruhi kesehatan budaya organisasi.

Ada kecenderungan budaya di PT sekarang ini tidak peduli atau masa bodoh terhadap persoalan yang ada ada di PT; prinsipnya yang penting karier sebagai dosen lancar sampai meraih jabatan guru besar, penghasilan meningkat, dan posisi untuk menduduki jabatan struktural bisa diraihnya. Kultur seperti ini lah yang akan mempersubur hilangnya sikap kritis dan orientasi dosen menjadi sangat pragmatis dan oportunistik.

Dalam pendapat Ludigdo (2018) korupsi bisa hadir karena kurang pengawasan dari media massa, menteri pendidikan, dosen (pen) dan mahasiswa; pengawasan sangat diperlukan dalam tatakelola perguruan tinggi agar bebas dari perilaku koruptif.

Jadi, untuk mereformasi PT yang bebas dari perilaku koruptif, secara struktural masih terkendala karena PT sekarang masih diposisikan sebagai bagian dari rezim politik yang sistemik karena ada penggiringan secara institusional dalam mendukung kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan kultural menjadi alternatif untuk mengkoreksi dan mengontrol perilaku kekuasaan di PT.

Civitas akademika harus berani mengucapkan sikap ketidaksetujuan, protes, kritik atau menawarkan alternatif kepada pimpiman PT adalah kensicayaan, jika PT ingin membangun budaya organisasi yang terbebas dari penyalahgunaan kewenangan dan koruptif. Berdiri tegak lurus untuk membangun budaya di PT yang orientasinya untuk menggapai dosen hebat, kritis, kontributif, bersaing dan menjadi contoh yang bisa diteladani adalah bagian dari budaya masa depan PT yang mencerahkan.***

*Dr. Syarief Makhya, Staf Pengajar FISIP Unila